Sabtu, 27 Desember 2014

Upacara dalam Agama Buddha

Upacara dalam Agama Buddha
Oleh: Haris, S.Ag

Upacara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: “Rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama”. Upacara dapat juga dikatakan sebagai suatu cetusan hati nurani manusia terhadap suatu keadaan atau sebagai salah satu bentuk kebudayaan yang dapat dilaksanakan sesuai dengan tradisi dan perkembangan jaman yang berdasar pada pandangan benar.
Jika dilihat di jaman Buddha, Sang Buddha tidak pernah mengajar cara upacara, namun Sang Buddha hanya mengajarkan Dhamma agar semua makhluk terbebas dari penderitaan. Pada jaman Buddha, upacara hanya dilakukan untuk penahbisan bhikkhu/bhikkhuni dan samanera. Namun upacara yang sekarang kita lihat dan dilakukan oleh umat Buddha merupakan perkembangan dari kebiasaan yang ada, yang terjadi sewaktu Sang Buddha masih hidup, yaitu yang disebut Vattha yang artinya kewajiban yang harus dipenuhi oleh para bhikkhu seperti merawat Sang Buddha, membersihkan ruangan, mengisi air dan sebagainya sehingga mereka semua bersama dengan umat lalu duduk selanjutnya mendengarkan khotbah Dhamma yang disampaikan oleh Sang Buddha. Setelah Sang Buddha wafat, para bhikkhu dan umat tetap berkumpul untuk mengenang Sang Buddha dan menghormat Sang Tiratana, yang sekaligus merupakan kelanjutan kebiasaan Vattha.
                Upacara keagamaan atau peribadatan dalam Agama Buddha dikenal dengan istilah “Puja” atau “Puja Bakti”. Puja berarti ritual penghormatan. Penghormatan atau pemujaan dalam agama Buddha ditujukan pada objek yang benar atau patut dan didasarkan pada pandangan benar. Dalam Dukanipata, Anguttara Nikaya, Sutta Pitaka, ada dua cara pemujaan, yaitu:
1. Amisa Puja (memuja secara materi)
    Makna amisa puja secara harafiah berarti pemujaan dengan persembahan seperti: lilin, dupa, bunga, air, buah dsb.
    Sedangkan asal mula amisa puja ini berawal dari kebiasaan bhikkhu Ananda, siswa setia Buddha. Setiap hari beliau selalu
    mengatur tempat tidur, membersihkan tempat tinggal, membakar cendana, menyiapkan bunga-bunga, mengatur giliran
    umat yang ingin menemui atau menyampaikan dana makanan, merawat dan melayani Sang Buddha.
2. Patipatti Puja (memuja secara praktik)
    Makna patipatti puja secara harafiah berarti pemujaan melalui pelaksanaan atau praktik. Seperti berlindung pada
    Tiratana, melaksanakan lima kemoralan Pancasila Buddhis, bertekad melaksanakan Atthanga sila/delapan kemoralan
    dihari uposatha, pengendalian terhadap enam inderia, mencari nafkah hidup secara benar dan praktik meditasi.
                Dalam Dhammapada Atthakatha dijelaskan bahwa empat bulan menjelang Buddha wafat (Parinibbana), para bhikkhu yang mendengar kabar itu segera berkumpul untuk memberi penghormatan. Namun Bhikkhu Attadattha malah menyendiri bermeditasi. Selanjutnya bhikkhu lainnya menceritakan perilaku bhikkhu Attadattha itu kepada Sang Buddha. Kemudian Buddha menyuruh seorang bhikkhu untuk memanggilnya, lalu bertanya mengapa ia bersikap seperti itu. Dalam kesempatan itu Bhikkhu Attadattha menjawab: O, bhante, setelah saya mendengar bahwa bhante akan meninggalkan kami semua empat bulan lagi, maka saya berpikir untuk mencari jalan yang terbaik dalam memberi hormat terhadap Buddha, yaitu dengan mencapai tataran Arahatta/kesucian ketika Buddha masih berada di dunia ini”. Buddha sangat menyetujui dan memuji sikap bhikkhu Attadattha tersebut.
Berkenaan dengan upacara atau penghormatan, Sang Buddha menjelaskan diantara Amisa puja dan Patipatti Puja penghormatan melalui pelaksanaan atau praktiklah yang lebih unggul, hal itu Sang Buddha tegaskan kepada bhikkhu Ananda dalam Mahaparinibbana Sutta yaitu “Ananda penghormatan, pengagungan dan pemujaan dengan cara tertinggi, terluhur bukanlah dilakukan dengan memberikan persembahan bunga, wewangian, nyanyian dan sebagainya. Akan tetapi Ananda, apabila seorang bhikkhu, bhikkhuni, upasaka atau upasika, berpegang teguh pada Dhamma, hidup sesuai dengan Dhamma, bertingkah laku selaras dengan Dhamma, maka orang seperti itulah yang sesungguhnya telah melakukan penghormatan, pengagungan, dan pemujaan dengan cara tertinggi atau terluhur.
Sabda Buddha tersebut berarti bahwa penerapan Patipatti Puja secara telak dapat menepiskan anggapan salah bahwa agama Buddha tidak hanya suatu agama ritualistis atau peribadatan/persembahyangan belaka.
                Sedangkan semua makna upacara dalam agama Buddha, sebenarnya terkandung prinsip-prinsip yaitu:
1. Menghormati dan merenungkan sifat-sifat luhur Tiratana
2. Memperkuat keyakinan atau Saddha dengan tekad adhitthana
3. Membina empat kediaman luhur, yaitu cinta kasih, kasih sayang, sifat simpati dan ketenangan batin
4. Mengulang dan merenungkan kembali khotbah-khotbah Sang Buddha
5. Melakukan Anumodana, yaitu melimpahkan jasa perbuatan baik kita kepada leluhur atau makhluk lain.
                Upacara dalam agama Buddha akan memberikan manfaat langsung dari pelaksanaan upacara seperti: Keyakinan dan bakti akan tumbuh berkembang, empat kediaman/keadaan batin yang luhur akan berkembang, Indera akan terkendali, puas, damai dan bahagia.
Selanjutnya yang perlu dipahami setiap melakukan upacara harus benar-benar memahami apa yang dilakukan, bukan semata-mata tradisi yang mengikat yang tidak membawa kita pada pembebasan atau Silabbataparamasa – Samyojjana.

                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar