Upacara dalam Agama Buddha
Oleh: Haris,
S.Ag
Upacara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti:
“Rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut
adat atau agama”. Upacara dapat juga dikatakan sebagai suatu cetusan hati
nurani manusia terhadap suatu keadaan atau sebagai salah satu bentuk kebudayaan
yang dapat dilaksanakan sesuai dengan tradisi dan perkembangan jaman yang
berdasar pada pandangan benar.
Jika dilihat di jaman Buddha, Sang Buddha tidak
pernah mengajar cara upacara, namun Sang Buddha hanya mengajarkan Dhamma agar
semua makhluk terbebas dari penderitaan. Pada jaman Buddha, upacara hanya
dilakukan untuk penahbisan bhikkhu/bhikkhuni dan samanera. Namun upacara yang
sekarang kita lihat dan dilakukan oleh umat Buddha merupakan perkembangan dari
kebiasaan yang ada, yang terjadi sewaktu Sang Buddha masih hidup, yaitu yang
disebut Vattha yang artinya kewajiban yang harus dipenuhi oleh
para bhikkhu seperti merawat Sang Buddha, membersihkan ruangan, mengisi
air dan sebagainya sehingga mereka semua bersama dengan umat lalu duduk selanjutnya
mendengarkan khotbah Dhamma yang disampaikan oleh Sang Buddha. Setelah Sang
Buddha wafat, para bhikkhu dan umat tetap berkumpul untuk mengenang Sang Buddha
dan menghormat Sang Tiratana, yang sekaligus merupakan kelanjutan kebiasaan Vattha.
Upacara keagamaan
atau peribadatan dalam Agama Buddha dikenal dengan istilah “Puja” atau “Puja Bakti”.
Puja berarti ritual penghormatan. Penghormatan atau pemujaan dalam agama Buddha
ditujukan pada objek yang benar atau patut dan didasarkan pada pandangan benar.
Dalam Dukanipata, Anguttara Nikaya, Sutta Pitaka, ada dua cara pemujaan, yaitu:
1. Amisa Puja (memuja secara
materi)
Makna amisa puja secara
harafiah berarti pemujaan dengan persembahan seperti: lilin, dupa, bunga, air,
buah dsb.
Sedangkan asal mula amisa
puja ini berawal dari kebiasaan bhikkhu Ananda, siswa setia Buddha. Setiap hari
beliau selalu
mengatur tempat tidur,
membersihkan tempat tinggal, membakar cendana, menyiapkan bunga-bunga, mengatur
giliran
umat yang ingin menemui atau
menyampaikan dana makanan, merawat dan melayani Sang Buddha.
2. Patipatti Puja (memuja
secara praktik)
Makna patipatti puja secara
harafiah berarti pemujaan melalui pelaksanaan atau praktik. Seperti berlindung
pada
Tiratana, melaksanakan lima
kemoralan Pancasila Buddhis, bertekad melaksanakan Atthanga sila/delapan
kemoralan
dihari uposatha, pengendalian
terhadap enam inderia, mencari nafkah hidup secara benar dan praktik meditasi.
Dalam Dhammapada
Atthakatha dijelaskan bahwa empat bulan menjelang Buddha wafat (Parinibbana), para bhikkhu yang
mendengar kabar itu segera berkumpul untuk memberi penghormatan. Namun Bhikkhu
Attadattha malah menyendiri bermeditasi. Selanjutnya bhikkhu lainnya
menceritakan perilaku bhikkhu Attadattha itu kepada Sang Buddha. Kemudian Buddha
menyuruh seorang bhikkhu untuk memanggilnya, lalu bertanya mengapa ia bersikap
seperti itu. Dalam kesempatan itu Bhikkhu Attadattha menjawab: O, bhante, setelah saya mendengar bahwa
bhante akan meninggalkan kami semua empat bulan lagi, maka saya berpikir untuk
mencari jalan yang terbaik dalam memberi hormat terhadap Buddha, yaitu dengan mencapai
tataran Arahatta/kesucian ketika Buddha masih berada di dunia ini”. Buddha
sangat menyetujui dan memuji sikap bhikkhu Attadattha tersebut.
Berkenaan dengan upacara atau penghormatan, Sang
Buddha menjelaskan diantara Amisa puja dan Patipatti Puja penghormatan melalui
pelaksanaan atau praktiklah yang lebih unggul, hal itu Sang Buddha tegaskan
kepada bhikkhu Ananda dalam Mahaparinibbana Sutta yaitu “Ananda
penghormatan, pengagungan dan pemujaan dengan cara tertinggi, terluhur bukanlah
dilakukan dengan memberikan persembahan bunga, wewangian, nyanyian dan
sebagainya. Akan tetapi Ananda, apabila seorang bhikkhu, bhikkhuni, upasaka
atau upasika, berpegang teguh pada Dhamma, hidup sesuai dengan Dhamma,
bertingkah laku selaras dengan Dhamma, maka orang seperti itulah yang
sesungguhnya telah melakukan penghormatan, pengagungan, dan pemujaan dengan
cara tertinggi atau terluhur.
Sabda Buddha tersebut berarti bahwa penerapan
Patipatti Puja secara telak dapat menepiskan anggapan salah bahwa agama Buddha
tidak hanya suatu agama ritualistis atau peribadatan/persembahyangan belaka.
Sedangkan semua
makna upacara dalam agama Buddha, sebenarnya terkandung prinsip-prinsip yaitu:
1. Menghormati dan merenungkan sifat-sifat luhur Tiratana
2. Memperkuat keyakinan atau Saddha dengan tekad adhitthana
3. Membina empat kediaman luhur, yaitu cinta kasih, kasih sayang,
sifat simpati dan ketenangan batin
4. Mengulang dan merenungkan kembali khotbah-khotbah Sang Buddha
5. Melakukan Anumodana, yaitu melimpahkan jasa perbuatan baik kita
kepada leluhur atau makhluk lain.
Upacara dalam
agama Buddha akan memberikan manfaat langsung dari pelaksanaan upacara seperti:
Keyakinan dan bakti akan tumbuh berkembang, empat kediaman/keadaan batin yang
luhur akan berkembang, Indera akan terkendali, puas, damai dan bahagia.
Selanjutnya yang perlu dipahami setiap melakukan
upacara harus benar-benar memahami apa yang dilakukan, bukan semata-mata
tradisi yang mengikat yang tidak membawa kita pada pembebasan atau
Silabbataparamasa – Samyojjana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar