Sabtu, 27 Desember 2014

Menghadapi Celaan dan Pujian dalam Praktik Dhamma Sehari-hari



Menghadapi Celaan dan Pujian dalam Praktik Dhamma Sehari-hari.
Oleh: Haris,S.Ag

Pendahuluan
Sebagai manusia yang hidup bermasyarakat tentunya sehari-hari tidak lepas dari interaksi antara satu manusia dengan manusia lain. Interaksi dapat terjadi melalui perantara orang lain atau pun secara langsung, kondisi yang demikian dapat juga menjadikan kesalah pahaman antara satu manusia dengan manusia lain, dengan demikian tidak heran dapat terjadi perselisihan, cekcok bahkan salah paham. Ketidak cocokan dan salah paham dapat juga menjadikan masalah baru yang dapat timbul dalam hidup setiap manusia.

Semua manusia yang hidup di dunia ini tidak dapat lepas dari masalah, masalah akan terus ada selama manusia masih hidup, karena kehidupan ini dicengkram oleh delapan kondisi duniawi: “Untung – Rugi, Terkenal – Tidak terkenal, dipuji – dicela, bahagia – dan sedih”. ( An 3, 488 ). Salah satu dari delapan kondisi duniawi adalah di puji dan dicela, dua keadaan ini akan muncul dalam kehidupan setiap manusia. Bila kondisi baik atau keadaan seseorang mendapatkan salah satu prestasi di dalam bidangnya, bagi yang merasa cocok maka pujian akan datang kepada orang tersebut, namun sebaliknya bila seseorang mendapatkan keadaan yang tidak baik maka sudah pasti cela yang akan didapatnya.

Keadaan dipuji dan dicela dapat menjadikan seseorang melakukan hal-hal buruk melalui perbuatan jasmani, ucapan dan pikiran. Ada beberapa kasus sering terjadi dalam media cetak atau TV sering kita membaca dan melihat berbagai kasus hanya dipicu dari ejekan atau celaan antara satu orang dengan orang lain maka dapat menjadikan tawuran, perkelahian hingga terjadi pembunuhan. Jika telah terjadi hal yang demikian, seakan nilai-nilai moral kemanusiaan seperti telah terpinggirkan. Untuk itu bagaimana kontribusi Dhamma dalam memberikan ajaran moral untuk menghadapi cela dan pujian yang sewaktu-waktu dapat terjadi pada setiap manusia dalam kehidupan sehari hari?

Celaan dan pujian sering terjadi pada setiap manusia bahkan diri kita. Hal tersebut sangat wajar terjadi dalam lingkungan kehidupan sehari-hari, namun bagaimana sikap kita menjelaskan berkenaan dengan bagaimana celaan dan hinaan jika sewaktu-waktu datang pada diri kita terutama dengan prinsip keyakinan kita kepada Buddha Dhamma dan Sangha, atau celaan yang tertuju pada TIRATANA. Dalam Digha Nikaya, Brahmajala Sutta Sang Buddha menjelaskan: “Para bhikkhu, bila orang mengucapkan kata-kata yang menyalahkan saya, Dhamma dan Sangha, janganlah karena hal itu kamu membenci, dendam atau memusuhinya. Bila karena hal tersebut kalian marah atau tersinggung, maka hal itu akan menghalangi jalan pembebasan diri kalian, dan mengakibatkan kalian marah dan tidak senang, apakah kalian dapat merenungkan ucapan mereka itu baik atau buruk?”. “Tidak demikian, Bhante”. “Tetapi bilamana ada orang mengucapkan kata-kata yang menyalahkan saya, Dhamma dan Sangha maka kalian harus menyatakan mana yang salah dan menunjukkan kesalahannya, dengan mengatakan bahwa berdasarkan hal ini atau itu, ini tidak benar, atau itu bukan begitu, hal demikian tidak ada pada kami, dan bukan kami”.

Dari uraian sutta diatas sangatlah jelas bahwa Sang Buddha tidak mengharapkan seseorang untuk marah, membenci walaupun orang itu telah mencela atau mengatakan sesuatu yang belum tentu benar pada kita. Namun kita berusaha untuk menjelaskan yang sebenarnya. Melalui penjelasan yang benar yang tidak menyakiti perasaan pendengarnya agar kita hidup bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar