Menghadapi Celaan dan Pujian dalam
Praktik Dhamma Sehari-hari.
Oleh:
Haris,S.Ag
Pendahuluan
Sebagai manusia yang hidup bermasyarakat
tentunya sehari-hari tidak lepas dari interaksi antara satu manusia dengan
manusia lain. Interaksi dapat terjadi melalui perantara orang lain atau pun
secara langsung, kondisi yang demikian dapat juga menjadikan kesalah pahaman
antara satu manusia dengan manusia lain, dengan demikian tidak heran dapat
terjadi perselisihan, cekcok bahkan salah paham. Ketidak cocokan dan salah
paham dapat juga menjadikan masalah baru yang dapat timbul dalam hidup setiap
manusia.
Semua
manusia yang hidup di dunia ini tidak dapat lepas dari masalah, masalah akan
terus ada selama manusia masih hidup, karena kehidupan ini dicengkram oleh delapan
kondisi duniawi: “Untung – Rugi, Terkenal – Tidak terkenal, dipuji – dicela,
bahagia – dan sedih”. ( An 3, 488 ). Salah satu dari delapan kondisi duniawi
adalah di puji dan dicela, dua keadaan ini akan muncul dalam kehidupan setiap
manusia. Bila kondisi baik atau keadaan seseorang mendapatkan salah satu
prestasi di dalam bidangnya, bagi yang merasa cocok maka pujian akan datang
kepada orang tersebut, namun sebaliknya bila seseorang mendapatkan keadaan yang
tidak baik maka sudah pasti cela yang akan didapatnya.
Keadaan
dipuji dan dicela dapat menjadikan seseorang melakukan hal-hal buruk melalui
perbuatan jasmani, ucapan dan pikiran. Ada beberapa kasus sering terjadi dalam
media cetak atau TV sering kita membaca dan melihat berbagai kasus hanya dipicu
dari ejekan atau celaan antara satu orang dengan orang lain maka dapat
menjadikan tawuran, perkelahian hingga terjadi pembunuhan. Jika telah terjadi
hal yang demikian, seakan nilai-nilai moral kemanusiaan seperti telah
terpinggirkan. Untuk itu bagaimana kontribusi Dhamma dalam memberikan ajaran
moral untuk menghadapi cela dan pujian yang sewaktu-waktu dapat terjadi pada setiap
manusia dalam kehidupan sehari hari?
Celaan
dan pujian sering terjadi pada setiap manusia bahkan diri kita. Hal tersebut
sangat wajar terjadi dalam lingkungan kehidupan sehari-hari, namun bagaimana
sikap kita menjelaskan berkenaan dengan bagaimana celaan dan hinaan jika
sewaktu-waktu datang pada diri kita terutama dengan prinsip keyakinan kita
kepada Buddha Dhamma dan Sangha, atau celaan yang tertuju pada TIRATANA. Dalam Digha Nikaya, Brahmajala Sutta Sang
Buddha menjelaskan: “Para bhikkhu, bila
orang mengucapkan kata-kata yang menyalahkan saya, Dhamma dan Sangha, janganlah
karena hal itu kamu membenci, dendam atau memusuhinya. Bila karena hal tersebut
kalian marah atau tersinggung, maka hal itu akan menghalangi jalan pembebasan
diri kalian, dan mengakibatkan kalian marah dan tidak senang, apakah kalian
dapat merenungkan ucapan mereka itu baik atau buruk?”. “Tidak demikian,
Bhante”. “Tetapi bilamana ada orang mengucapkan kata-kata yang menyalahkan
saya, Dhamma dan Sangha maka kalian harus menyatakan mana yang salah dan
menunjukkan kesalahannya, dengan mengatakan bahwa berdasarkan hal ini atau itu,
ini tidak benar, atau itu bukan begitu, hal demikian tidak ada pada kami, dan
bukan kami”.
Dari
uraian sutta diatas sangatlah jelas bahwa Sang Buddha tidak mengharapkan
seseorang untuk marah, membenci walaupun orang itu telah mencela atau
mengatakan sesuatu yang belum tentu benar pada kita. Namun kita berusaha untuk
menjelaskan yang sebenarnya. Melalui penjelasan yang benar yang tidak menyakiti
perasaan pendengarnya agar kita hidup bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar