Sabtu, 27 Desember 2014

Korban dalam Pandangan Buddhis



Korban dalam Pandangan Buddhis
Oleh: Haris, S.Ag

Pendahuluan
Kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun oleh seseorang dalam jangka waktu yang lama biasanya sangat sulit untuk dirubah sehingga dapat dikatakan sebagai tradisi. Dikatakan tradisi bila tindakan itu telah dilakukan secara terus menerus dan berlaku secara turun-temurun. Salah satu contoh seperti tradisi selamatan laut, sadranan di punden atau tempat keramat, grebeg dan lain sebagainya.
Tradisi seperti upacara selamatan dan sadranan pada dasarnya masih saja dilakukan oleh manusia di jaman modern, hal ini dapat dijumpai di salah satu desa-desa atau salah satu perkotaan dalam upacara tahunan kirab grebeg selamatan laut dan lain sebagainya. Untuk pelaksanaan selamatan, sadranan dan grebek biasanya dilakukan menggunakan beberapa sesajian yang beraneka ragam, seperti tumpeng, makanan jajan pasar yang bermacam-macam bahkan sampai makhluk hidup dijadikan sebagai syarat dalam pelaksanaan upacara tersebut.
Pelaksanaan selamatan menggunakan makhluk hidup sebagai salah satu sarat yang digunakan sarana ritual, seperti daging ayam yang disembelih sendiri, kambing yang memiliki ciri-ciri tertentu seperti kambing berkendit putih yang melingkar di perutnya untuk disembelih dan tidak jarang kepala sapi atau kerbau dijadikan syarat dalam ritual selamatan atau upacara pengorbanan, hal itu dapat dijumpai di salah satu upacara selamatan di berbagai pinggir pantai sebagai tolak bala dengan harapan selalu selamat dan banyak rejeki dalam mencari penghidupan di laut.

Bagaimanakah Pandangan Umat Buddha Terhadap Korban?
Dalam Kitab Suci Tipitaka (Digha Nikaya, Kutadanta Sutta, 94-96: 2009) dijelaskan oleh Buddha, yaitu: Ketika Sang Buddha sedang melakukan perjalanan melewati Magadha bersama lima ratus bhikkhu, dan beliau tiba di sebuah desa Brahmana bernama Khanumata sehingga Beliau menetap di taman Ambalatthika. Pada saat itu Brahmana Kutadanta bermaksud melakukan upacara pengorbanan dengan 700 ekor sapi, 700 ekor kerbau, 700 ekor anak sapi, 700 ekor kambing jantan dan 700 ekor domba yang semuanya diikat di tiang pengorbanan, jumlah keseluruhan 3.500 hewan korban.
Brahmana Kutadanta pada saat itu bertekad melakukan korban dengan tujuan agar negeri, kota keluarga dan kehidupannya selalu dalam selamat dan penuh dengan kebahagiaan. Namun pada kesempatan sebelum melakukan upacara pengorbanan yang besar tersebut, Brahmana Kutadanta mengunjungi sang Buddha dan meminta nasehat berkenaan dengan pelaksanaan korban yang akan dilakukannya. Pada saat itu sang Buddha menceritakan kehidupan raja Mahavijita. Sang Buddha menjelaskan bahwa pada saat raja Mahavijjita memerintah selalu melakukan pengorbanan dalam jumlah yang besar namun pengorbanan yang dilakukan oleh Mahavijjita dilakukan dengan damai dan tanpa setetes darah. Pengorbanan dilakukan melalui tiga cara dan enambelas aturan yaitu pengorbanan dilakukan dengan pelepasan makhluk hidup dengan tidak menyakitinya dan membagikan berbagai makanan dan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat yang dipimpinnya.
Saat itu Brahmana Kutadanta menanyakan kepada Sang Buddha  selain tiga cara dan enambelas aturan pengorbanan, adakah pengorbanan dengan cara lain yang lebih “TINGGI” daripada pengorbanan yang dilakukan melalui tiga cara dan enambelas aturan seperti di atas. Selanjutnya Sang Buddha menjelaskan dengan berkata kepada Brahmana Kutadanta: Ada Brahmana, mohon dengar dan perhatikan jenis pengorbanan apa, yang melebihi ketiga cara dan enambelas aturan itu, yaitu: (1). Bila seseorang berdana kepada arahat atau pertapa atau bhikkhu yang menjalankan moralitas dengan baik. Jika hal itu tidak dilakukan maka ada cara lain yang lebih tinggi, yaitu: (2) membangun vihara dan menyediakan tempat tinggal atau membukakan pintu bagi bhikkhu sangaha untuk bermalam atau bertempat tinggal. Jika hal itu tidak dilakukan maka ada cara lain yang lebih tinggi, yaitu: (3) bila seseorang itu berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha. Jika hal itu tidak dilakukan maka ada cara lain yang lebih tinggi, yaitu: (4) bila seseorang itu praktik atau menjalankan lima sila Pancasila Buddhis dalam kehidupannya. Jika hal itu tidak dilakukan maka ada cara lain yang lebih tinggi, yaitu: (5) bila seseorang itu praktik dan melatih meditasi hingga mencapai dalam Jhana-jhana
Demikianlah cara berkorban dalam aturan dan cara Buddhis yaitu bila yang pertama telah dilakukan maka ada yang lebih tinggi lagi bila telah melakukan yang ke dua, namun bila yang kedua tidak dilakukan selanjutnya seseorang melakukan cara yang ketiga maka itu pengorbanan yang tinggi. Demikian juga bila yang ke tiga tidak dilakukan maka melakukan yang keempat maka lebih tinggi lagi. Seterusnya bila cara yang keempat tidak dilakukan, namun melakukan cara yang kelima maka itulah yang akan membuahkan hasil dan kebahagiaan dalam jangka waktu yang lama dalam kehidupan ini dan kehidupan yang akan datang.

Mengapa Korban Terhadap Makhluk Hidup Tidak Dianjurkan dalam Agama Buddha?
Pada prinsipnya ajaran Buddha mengenal proses Hukum Kamma. Hukum Kamma berpatokan melalui hukum sebab dan akibat, yang mana hukum ini akan berjalan sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan seseorang. Hukum Kamma dapat dipahami siapa yang menanam maka dia pula yang akan memetik, sehingga hukum ini berjalan sebagaimana apa adanya yaitu tidak mengatasi waktu tempat dan keadaan. Hukum ini berlaku dimana-mana dan dapat diibaratkan tanam dan tuai, bila seseorang telah menanam biji yang pahit maka nantinya akan memetik buah yang pahit. Demikian juga bila seseorang telah menanam biji yang manis maka seseorang itu akan memetik buah yang manis, demikian hukum ini berjalan, (Samyutta Nikaya, 227)
Dalam Kitab Suci Tipitaka (Majjhima Nikaya 7 dalam Cullakammavibhangga Sutta, 2207-2210: 2008) telah dijelaskan oleh Sang Buddha, bila seseorang melakukan pembunuhan maka akibat yang akan diperoleh adalah umur pendek. Namun sebaliknya jika seseorang dalam hidupannya selalu menghargai kehidupan makhluk lain dengan tindakan penuh dengan cinta kasih dan kasih sayang, maka ia akan berumur panjang. Demikian juga bila seseorang melakukan penyiksaan terhadap makhluk hidup dengan tongkat, kayu, batu atau pisau maka bila ia terlahir lagi sebagai manusia maka ia akan dalam keadaan berpenyakitan. Sebaliknya bila dalam hidup seseorang selalu melakukan tindakan penuh dengan cinta kasih dan kasih sayang maka seseorang itu akan selalu dalam keadaan sehat demikian hukum ini dipahami.

Bagaimanakah Surga Diperoleh?
Umat Buddha tentunya tidak berpandangan bahwa dengan melakukan pengorbanan terhadap makhluk hidup akan mendapatkan surga? Sekali lagi pengorbanan yang benar dalam Pandangan Buddhis, bahwa pengorbanan dilakukan melalui lima cara, yaitu: (1) Bila seseorang berdana makanan kepada arahat atau pertapa atau bhikkhu yang menjalankan moralitas dengan baik, (2) membangun vihara dan menyediakan tempat tinggal atau membukakan pintu bagi bhikkhu sangha untuk bermalam atau bertempat tinggal, (3) bila seseorang itu berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha, (4) bila seseorang itu praktik atau menjalankan lima sila Pancasila Buddhis dalam kehidupannya, (5) bila seseorang itu praktik dan melatih meditasi hingga mencapai dalam Jhana-jhana. Dan bukan melalui pengorbanan yang dilakukan melalui jalan pembunuhan terhadap makhluk lain.
Dalam Kitab Suci Tipitaka (Dhammapada, 253: 2011) syair 224 yaitu: Hendaknya orang berbicara benar, hendaknya orang tidak marah, hendaknya orang memberi walaupun sedikit kepada mereka yang membutuhkan.
Dengan tiga cara ini orang dapat pergi ke alam surga. Jelaslah sesuai petikan Kitab Suci Dhammapada tersebut bahwa surga diperoleh bukan melalui pembunuhan terhadap makhluk lain, namun melalui berbicara benar, mengendalikan kemarahan dan kebiasaan melepas atau memberi kepada makhluk yang membutuhkan.
Pencapaian alam surga yang penuh dengan kebahagiaan dalam pandangan agama Buddha dapat dicapai oleh siapa pun, namun dengan syarat jika seseorang dalam kehidupannya selalu konsisten melaksanakan ucapan benar, tidak marah, dan suka memberi maka alam kebahagiaan surga akan diperolehnya. Suatu pandangan keliru dan sempit bila surga hanya dimiliki oleh salah satu keyakinan tertentu. Dalam pandangan agama Buddha surga milik siapa saja yang mau melakukan perbuatan baik. Hal itu telah diselidiki oleh siswa Sang Buddha Moggallana Thera dalam Kitab (Dhammapada Atthakattha, 351-352: 1997) yaitu: Pada saat Bhikkhu Moggallana Thera mengunjungi alam dewa yang mewah, beliau bertanya: “Melalui perbuatan baik apa telah kalian lakukan sehingga kalian terlahir di alam surga. Selanjutnya, para dewa memberikan jawaban yang berbeda-beda. Salah satu dewa menjawab, bahwa ia dapat terlahir di surga karena selalu berkata benar. Dewa berikutnya menjawab ia dapat terlahir di alam dewa karena tidak suka marah. Dan dewa terakhir memberi jawaban bahwa ia dapat terlahir sebagai dewa karena ia suka berdana”. Dari pernyataan para dewa yang yang telah terlahir di surga tersebut sangat jelas bahwa siapa saja yang dengan sungguh-sungguh mau melatih dan praktik perbuatan baik dapat terlahir di alam yang penuh kebahagiaan.

Kesimpulan
Dalam pandangan agama Buddha segala sesuatu tindakan melalui ucapan, perbuatan dan pikiran yang dapat merugikan diri sendiri dan makhluk lain maka tindakan itu bukan tindakan benar. Segala sesuatu bentuk pengorbanan jika merugikan diri sendiri dan makhluk lain hendaknya jangan dilakukan karena umat Buddha berpedoman pada hukum sebab dan akibat. Mengenai hukum sebab dan akibat, maka sebagai umat Buddha seseorang hendaknya dapat menciptakan perbuatan, ucapan dan pikiran yang baik agar dapat bahagia dalam kehidupan ini dan kehidupan yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar