Simbol Dhamma Pada Altar Buddha
Oleh: Haris, S.Ag
Apabila kita mencermati altar Buddha
Gotama yang terdapat di Ârâma, Vihâra, Cetiya ataupun di rumah-rumah umat
Buddha (yang berpedoman pada Kitab Suci Tipitaka, maka akan ditemui benda-benda
yang terdapat di atas altar tersebut yaitu Buddharûpam tidak wajib ada
dan Âmisa-pûjâ (benda-benda persembahan). Benda-benda persembahan yang terdapat
dalam altar di antaranya : air, dupa, pelta/lilin, dan bunga, sedangkan makanan
serta buah-buahan merupakan benda persembahan yang tidak wajib.
Buddharûpam / Arca Buddha
bukanlah sebagai objek pemujaan yang kepada-Nya kita memohon dan meminta
sesuatu (apakah supaya menjadi kaya, banyak rezeki, usaha lancar, penyakit
dapat disembuhkan, menginginkan anak sesuai dengan apa yang diharapkan maupun
berjodoh) atau pun sebagai sasaran untuk mengadu segala keluh kesah yang
dihadapi oleh manusia atau sebagai tempat untuk meminta ampun atas segala
kesalahan yang telah dilakukan atau pun meminta bantuan/pertolongan.Namun dapat
dijadikan sebagai tempat menyatakan tekad atau ber-aditthana untuk menjadi
upâsaka atau upâsikâ, sâmanera, bhikkhu, dan untuk berbuat baik. Buddharûpam
merupakan simbol dari bukti nyata bahwa ada seorang manusia yang telah mencapai
Penerangan Sempurna yang telah membabarkan Dhamma yang mulia, yang indah pada
awalnya, yang indah pada pertengahannya, dan indah pula pada pengakhirannya.
Beliau adalah Guru Agung umat manusia yang memiliki kebijaksanaan agung,
kesucian yang luhur, dan welas asih yang universal (Mahâ Karunâ) yang telah
dikembangkan dan diwujudkan dalam kehidupan-Nya. Hal tersebut dilakukan selama
45 tahun setelah Beliau mencapai Penerangan Sempurna; Nibbâna melalui
pembabaran Dhamma yang dilakukan-Nya terus-menerus dengan jadwal sehari-hari
yang sangat padat. Perjuangan dan pengorbanan Beliau-lah yang membuat manusia
menjadikan sosok Buddha sebagai kiblat atau sebagai fokus yang diletakkan di
atas altar. Buddharûpam sesungguhnya bukanlah objek yang wajib, karena tanpa
Buddharûpam umat Buddha dapat melakukan aktivitas Dhamma di dalam kehidupan
sehari-hari detik per detik. Praktik Dhamma adalah yang utama. Buddha sendiri
menyarankan agar Bhikkhu Ânanda menasihati Upâsaka Anathapindika melakukan
penghormatan kepada Bodhirukkha / pohon Bodhi ketika Beliau tidak berada di
tempat. Hal ini disampaikan oleh Buddha berkaitan dengan pertanyaan yang
disampaikan oleh Upâsaka Anathapindika kepada Bhikkhu Ânanda mengenai
penghormatan yang seharusnya dilakukan apabila Buddha Gotama tidak berada di
Jetavanârâma. Dengan demikian merupakan pernyataan yang salah (kalau boleh
dikatakan orang yang menyatakan tersebut tidak mengerti Dhamma dengan benar dan
jelas) apabila dinyatakan bahwa umat Buddha menyembah BERHALA. Karena umat
Buddha yang benar adalah umat Buddha yang melakukan pujabhatti dengan menguncar
ulang apa yang telah disampaikan oleh Buddha. Seyogianya umat tidak
melakukan permohonan atau pun permintaan apa-apa. Sesungguhnya Buddharûpam
digunakan sebagai :
1. Lambang penghormatan sebagai tanda terima kasih dan anumodâna atas segala upaya Beliau mencapai Penerangan Sempurna sehingga sampai hari ini banyak umat yang tertolong dan terbantu dengan Dhamma yang telah Beliau uraikan.
2. Sarana atau alat/objek untuk bermeditasi karena keagungan, kemuliaan, dan cinta kasih yang universal yang Beliau pancarkan. Dengan melihat rûpam-Nya saja (apabila dalam pembuatannya sesuai dengan Dhamma dan Vinaya), kita telah dapat merasakan kebahagiaan, kedamaian, dan ketentraman serta segan atas dedikasi dan wibawa, juga kharima Beliau. Hal ini-lah yang dijadihan perenungan dari Buddharûpam. Secara Dhamma, umat tidak dapat meminta dan memohon sesuai dengan apa yang dikehendaki dan diingini kepada buddharupang, karena tanpa menciptakan sebab maka tidak akan ada akibat yang diterima.
3. Visi kedepan umat Buddha adalah untuk membebaskan diri dari dukkha karena mengalami kelahiran, kelapukan, dan kematian. Jadi dengan melihat Buddharûpam, maka dalam diri kita timbul pemahaman bahwa suatu saat nanti saya sebagai murid/siswa Beliau akan mencapai Nibbâna. Inilah sebenarnya tujuan akhir dari setiap umat Buddha. Sementara tujuan jangka pendeknya adalah hidup berbahagia di dunia ini, dan tujuan jangka menengahnya adalah meninggal dunia akan terlahir di alam Surga yang penuh dengan kebahagiaan.
Âmisa-pûjâ (benda-benda
persembahan) yang dipersembahkan di atas altar Buddha bukanlah sebagai
persembahan yang diberikan kepada Buddha agar Beliau menikmatinya. Pengertian
demikian adalah sangat tidak tepat dan boleh dikatakan SALAH BESAR. Dengan
demikian apakah makna dari simbolik tersebut ?
1. Air, melambangkan kesucian, kesetiaan, dan kejujuran. Air berguna untuk membersihkan sesuatu, segala sesuatu yang terdapat dalam air ataupun warna yang ditaruh ke dalam air dapat kelihatan dengan jelas, dan air sifatnya dapat menyesuaikan diri dengan wadahnya serta selalu mencari tempat yang rendah. Jadi dengan melihat air yang dipersembahkan di atas altar Buddha, maka menimbulkan pemahaman bagi kita bahwa Dhamma dapat berguna untuk membersihkan kekotoran batin baik yang kasar (Lobha / keserakahan, Dosa / kebencian atau dendam, Moha / ketidaktahuan) dan yang halus (Kâmâsava / kekotoran batin yang berasal dari nafsu indera, Bhavâsava / keinginan untuk hidup, Ditthâsava / pandangan salah, Avijjâsava / kegelapan batin), orang yang melakukan kesalahan dan pelanggaran Dhamma dapat diketahui, orang yang mengerti Dhamma dapat menempatkan diri di mana pun mereka berada, orang yang mengerti Dhamma adalah orang yang rendah hati, tiada angkuh dan tiada sombong. Pada saat akan mempersembahkan air di atas altar sebaiknya merenungkan kalimat : ”Kami persembahkan air yang melambangkan kesucian, kesetiaan, dan kejujuran ini di atas altar Buddha. Semoga demikianlah kami dalam menjalani kehidupan ini dengan meningkatkan kesucian batin, kesetiaan, dan kejujuran kami.”
2. Dupa/gaharu atau hio, melambangkan harumnya Dhamma. Bila dupa tidak disulut, maka harumnya tidak menyebar ke berbagai penjuru. Akan tetapi, apabila dupa disulut, maka harumnya akan menyebar ke mana-mana ke segala penjuru. Demikianlah halnya dengan Dhamma ajaran mulia Bhagavâ, apabila kita melaksanakannya di dalam kehidupan sehari-hari, maka pelaksana Dhamma akan selalu harum namanya, penuh dengan pujian dan penghargaan yang diberikan orang atau pihak lain. Pada saat akan mempersembahkan dupa di atas altar sebaiknya merenungkan kalimat berikut : ” Kami persembahkan dupa ini di atas altar Buddha yang melambangkan harumnya pelaksanaan sîla, semoga demikianlah hendaknya sîla yang kami praktikkan dalam kehidupan sehari-hari akan membawa nama baik bagi Dhamma; ajaran Buddha.”
3. Pelita / lampu / lilin, melambangkan penerangan. Ilustrasi : sebuah kamar yang gelap gulita akan menjadi kelihatan terang dan jelas, apabila dihidupkan lampu ataupun terdapat lilin yang telah disulut di dalam kamar tersebut. Lilin ini melambangkan Dhamma ajaran Bhagavâ. Dhamma akan menerangi hidup umat manusia dan seharusnya menjadi pedoman dan kompas manusia untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan rintangan, tantangan, dan hambatan. Orang yang tidak memiliki Dhamma bagaikan orang buta, sehingga orang tersebut harus memiliki Dhamma. Dhamma yang dimilikinya belum mantap bagaikan orang buta yang selalu membawa tongkat sebagai penunjuk jalan. Pada saat akan mempersembahkan lilin/pelita di atas altar sebaiknya merenungkan kalimat berikut : ” Kami persembahkan lilin/pelita ini di atas altar Buddha yang melambangkan penerangan, semoga demikianlah hendaknya Dhamma; ajaran Buddha akan menjadi penuntun dan pedoman hidup kami sehingga akan membawa kebahagiaan dalam hidup kami untuk terlahir di alam Surga hingga tercapainya Nibbâna.”
4. Bunga/kembang, melambangkan keindahan yang tidak bertahan lama atau yang akan mengalami kelapukan / ketidakkekalan. Dengan memperhatikan bunga, seyogianya kita memahami ajaran tentang ketidakkekalan. Kecantikan, kedudukan, kepandaian, keahlian, kekayaan, martabat, jabatan, dan lain-lainnya adalah tidak bertahan selamanya akan mengalami perubahan pada saatnya tiba. Oleh karena itu, bunga yang dipersembahkan ke atas altar Buddha adalah sebagai alarm kehidupan bagi kita, di mana suatu saat apa yang kita miliki dan kita harapkan tidaklah dapat kita lekati sepanjang masa. Semuanya akan berpisah. Dengan demikian, kita harus menghindari keangkuhan, kesombongan, dan tinggi hati. Pada saat akan mempersembahkan bunga di atas altar sebaiknya merenungkan kalimat berikut : ” Kami persembahkan bunga ini di atas altar Buddha yang melambangkan keindahan yang tidak dapat bertahan lama dan suatu saat akan mengalami kelapukan/ketidakkekalan, semoga demikian-lah hendaknya kami dapat memanfaatkan kehidupan ini dengan penuh perhatian, sehingga menghindarkan diri kami dari keangkuhan, kesombongan, dan tinggi hati.”
5. Makanan serta buah-buahan, melambangkan buah dari suatu perbuatan atau keberhasilan atas segala usaha yang telah dilaksanakan. Setiap perbuatan atau usaha yang dilakukan, suatu saat nanti akan membuahkan hasil atau akibat. Berbuat baik akan berakibat kebahagiaan, kemujuran atau berkecukupan/kaya sedangkan berbuat kejahatan akan berakibat penderitaan, kesialan atau serba kekurangan. Segala sesuatu yang akan diterima bila tepat pada waktunya, maka akan menjadi kenyataan, untuk itu manusia dituntut ketenangan dan kesabaran dalam menunngu kenyataan tersebut. Pada saat akan mempersembahkan makanan/buah-buahan di atas altar sebaiknya merenungkan kalimat berikut : ” Kami persembahkan makanan/buah-buahan ini di atas altar Buddha yang melambangkan keberhasilan atau tercapainya cita-cita, semoga demikianlah hendaknya perbuatan yang telah kami lakukan dalam kehidupan ini akan membawa berkah dan kebahagiaan dalam hidup kami untuk terlahir di alam Surga hingga tercapainya Nibbâna.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar