Sabtu, 27 Desember 2014

Bagaimanakah Puasa dalam Agama Buddha?

Bagaimanakah Puasa dalam Agama Buddha?
Oleh: Haris, S.Ag

Istilah puasa berasal dari kata uposatha yang berawal dari Upa dan Vassa sehingga menjadi puasa. Puasa dilakukan umat Buddha pada hari-hari tertentu, yaitu pada saat hari uposatha dengan cara melaksanakan Athangasila atau praktik delapan sila. Dalam Kitab Suci Tipitaka Khudaka Nikaya bagian (Sutta Nipatta, 2003: 96) disitu dijelaskan oleh Sang Buddha untuk pelaksanaan puasa bagi umat Buddha jatuh pada tanggal 1, 8, 15 dan 23. Artinya Umat Buddha Memiliki kesempatan berpuasa yang ditunjukkan oleh Buddha dalam sebulan empat kali.
Bagaimana cara pelaksanaan puasa dalam agama Buddha? Yaitu bila setiap hari seseorang menjalankan lima latihan sila yang disebut praktik pancasila Buddhis, maka pada hari uposatha pada tanggal, 1, 8, 15, dan 23 umat buddha meningkatkan silanya menjadi praktik 8 sila. Kedelapan sila itu dilatih selama 1 hari 1 malam penuh, yang dimulai pada pagi hari dan berakhir dikeesokan paginya dengan bertekad untuk melakukan delapan sila yang sangat mulia yaitu:
1). Saya bertekad melatih diri untuk tidak membunuh makhluk hidup
2). Saya bertekad melatih diri untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan
3). Saya bertekad melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan tidak suci
4). Saya bertekad melatih diri untuk tidak berucap yang tidak benar
5). Saya bertekad melatih diri untuk tidak minum-minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan
6). Saya bertekad melatih diri untuk tidak makan setelah jam 12 siang
7). Saya bertekad melatih diri untuk tidak menari, menyanyi, bermain musik, pergi melihat pertunjukan, memakai
     wewangian, kosmetik, bung2aan dengan tujuan memperindah dan mempercantik diri
8). Saya bertekad melatih diri untuk tidak tidur ditempat yang tinggi dan mewah. (Anguttara Nikaya III, 2003: 526-528).
                Kalau sepintas kita lihat dari pelaksanaan puasa dalam buddhis sebenarnya tidak jauh beda dari 5 sila Pancasila Buddhis, yang membedakan pada sila ke-3 Abrahmacariya yg artinya selama berpuasa walaupun dengan suami atau isterinya sendiri tidak boleh tidur bersama. Mengapa demikian? karena selama berpuasa kita mencontoh kehidupan makhluk brahma yaitu makhluk brahma tdk berpasangan. Sedangkan sila 6-8 adalah penambahan sila untuk penahanan dan latihan pengendalian diri terhadap Kamaraga atau nafsu keinginan indria seperti: mata, telinga, lidah, hidung, kulit dan pikiran. Mengapa kamaraga perlu dikendalikan? Sebab puasa adalah sarana berlatih untuk mencontoh dan meniru kehidupan arahat, yang mana seorang arahat telah dikatakan sebagai makhluk suci sehingga dalam dirinya telah mematahkan dan menghilangkan nafsu inderiya tersebut. Pelaksanaan puasa merupakan sarana atau praktik latihan yang bertujuan untuk mengendalikan nafsu keinginan yang ditimbulkan dari pintu-pintu indria.
                Apa manfaat dari pelaksanaan puasa bagi yang melaksanakannya. Sang Buddha menjelaskan dalam Kitab Suci Tipitaka (Anguttara Nikaya III, 2003: 528-530), yaitu siapa saja yang terbias praktik Atanggasila di hari uposatha maka ia setelah kematian akan berbahagia di alam surga. Bahkan lebih lanjut Sang Buddha menjelaskan lamanya waktu kehidupan surga mulai dari yang terendah yang diawali dari Catumaharajika yaitu: 1 hari 1 malam di alam surga Catumaharajika sama dengan 50 tahun umur manusia dan hidupnya 500 tahun surgawi. 1 hari 1 malam Tavatimsa sama dengan 100 tahun umur manusia hidupnya 1000 th surgawi dst…. Lebih lanjut terdapat buah dari pelaksanaan puasa yang dijelaskan dalam Kitab Suci Tipitaka Khudaka nikaya, Dhammapada dijelaskan dalam komentar Athakattha disitu terdapat kasus makhluk Dewa Catumaharajika yang menemui salah satu bhikkhu sehingga bhikkhu tersebut bertanya atas jasa apa kamu bisa terlahir di surga menjadi dewa? Selanjutnya dewa itu bercerita bahwa ia bisa terlahir sbg dewa karena melaksanakan puasa selama satu hari dan meninggal dlm keadan berpuasa sehingga ia berbahagia di alam surga Catumaharajika.
               



Tidak ada komentar:

Posting Komentar