Memahami Tindakan dalam
Keseharian
Oleh Haris, S.Ag
Terlahir sebagai manusia merupakan suatu
kebahagiaan, kebahagiaan itu akan lengkap bila kita memahami kelahiran itu
dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Hal ini Sang Buddha tegaskan dalam
Dhammapada 182 bahwa: “Adalah sungguh sulit untuk dapat terlahir
sebagai manusia, sungguh sulit hidup sebagai manusia, sungguh sulit untuk dapat
mendengarkan Dhamma….”.
Lebih lanjut Sang Buddha memberi perumpamaan dan perbandingan dalam (Nakhasitha Sutta, SN 13.1 & SN 20.2) bahwa
: “Para bhikkhu lebih banyak mana antara
debu yang ada di ujung kuku-Ku dengan debu yang ada di alam semesta ini,
selanjutnya para bhikkhu menjawab: tidak sebanding yang mulia debu di ujung
kuku Yang Mulia dengan debu yang ada di alam semesta. Selanjutnya Sang Buddha
meneruskan kata-katanya, Demikian juga para bhikkhu setelah kematian manusia
sungguh sangat sedikit yang terlahir sebagai manusia seperti debu yang menenpel
pada kuku di ujung jari ku ini, namun setelah kematian dari alam manusia akan
lebih banyak yang terlahir sebagai makhluk menderita seperti terlahir di alam
Neraka, binatang, hantu, dan raksasa”.
Selanjutnya di
dalam syair Dhammapada 182 di atas Sang Buddha juga menjelaskan Sungguh sulit
dapat mendengarkan Dhamma. Penjelasan Sang Buddha tersebut juga sangat relevan
dengan salah satu kotbah Buddha yang terdapat di dalam Digha Nikaya, Sanghiti
Sutta, Sang Buddha menjelaskan bahwa terdapat sembilan saat orang tidak dapat
mendengarkan dan mengikuti ajaran Sang Buddha, bila makhluk itu terlahir di: “ 1). Alam Neraka, 2) terlahir di alam
Binatang, 3) terlahir dialam Hantu, 4) terlahir di alam asura/raksasa, 5) jika
terlahir di dalam kelompok dewa yang berumur panjang, 6) terlahir di suatu
daerah yang tidak pernah dikunjungi oleh bhikkhu, bhikkhuni, 7) jika ia
terlahir yang ada ajaran buddha namun memiliki pandangan salah, 8) jika ia
terlahir ditempat yang cocok ada Buddha Dhamma namun terlahir cacat tuli, 9)
Jika ia terlahir di daerah yang ada Buddha Dhamma namun ia bukan pengikut
Buddha”. Demikian Sang Buddha menjelaskan.
Namun jika
kita menyadari dan mengerti bahwa saat ini kita hidup dalam keadaan yang
mendukung dalam arti kita telah terlahir sebagai manusia dan saat ini kita
dapat mempelajari, mendengarkan dan mempraktikkan Dhamma, maka kita seharusnya
bersyukur bahwa hal-hal yang baik telah kita dapatkan yaitu kita dapat mengenal
dan mempelajari Buddha Dhamma. Dengan bekal Buddha Dhamma dapat dipraktikkan
dalam diri kita maka kita sebagai umat buddha senantiasa bertindak, berucap dan
berpikir dengan baik dan dapat berhati-hati sebab melalui perbuatan, ucapan dan
pikiran kita lah semua perbuatan akan kita warisi dalam kehidupan ini atau
dalam kehidupan berikutnya.
Dalam Kitab Anguttara
Nikaya II, hal 355 Sang Buddha menjelaskan bahwa: “Kam-mas-sakâ, Kam-madâ-yâ-dâ, Kam-mayo-nî, Kam-maban-dhû,
Kam-mapatisaranâ. Yam-kam-mam-karis-san-ti, Kal-yâ-nam-vâ-pâ-pakam-vâ,
Tas-sadâ-yâ-dâ-bhavis-san-ti yang artinya: “Semua makhluk adalah pemilik
perbuatan meraka sendiri, Terwarisi oleh perbuatan mereka sendiri, Lahir dari
perbuatan meraka sendiri, Berkerabat dengan perbuatan mereka sendiri, Tergantung
pada perbuatan mereka sendiri.Perbuatan apa pun yang akan mereka lakukan baik
atau pun buruk; Perbuatan itulah yang akan mereka warisi”. Melalui Sabda
Buddha tersebut menandakan bahwa kita sendiri yang akan menentukan kualitas
perbuatan baik dan buruk, dan melalui kita sendiri yang akan menciptakan
kebahagiaan atau penderitaan dalam kehidupan ini atau dalam kehidupan yang akan
datang.
Sebagai umat
buddha setelah mengetahui kualitas dan banyaknya perbuatan baik dalam kehidupan
sehari-hari yang telah kita lakukan maka hendaknya kita sebagai umat buddha
tidaklah lupa untuk melimpahkan jasa-jasa kebajikan yang telah kita perbuat
dalam kehidupan sehari-hari yang telah kita lakukan melalui ucapan, perbuatan
dan pikiran. Selanjutnya perbuatan baik itu kita limpahkan kepada
leluhur-leluhur kita yang telah meninggal, seperti ayah dan ibu kita dalam
kehidupan sebelum kita hidup di dunia ini. Hal tersebut juga telah dilakukan
oleh Samanera Sanu dan Bhikkhu Sariputta bahwa dalam kehidupan itu mereka telah
melakukan perbuatan baik dan selanjutnya dilimpahkan kepada sanak keluarga
seperti ayah dan ibu di kehidupan yang lalu.
Kisah samanera
Sanu Kalau
kita lihat dalam kitab suci Dhammapada yang dijelaskan dalam komentarnya yaitu
di dalam Dhammapada Athakattha terbitan (Vidyasena,
1997: 451) disitu terdapat kasus pelimpahan jasa. Dimana seorang
samanera yang bernama samanera Sanu yang setelah mengulang khotbah Buddha atau
kalau sekarang bisa dikatakan seperti membaca paritta, maka setelah selesai
membaca khotbah. Selanjutnya samanera Sanu melimpahkan jasa perbuatan baik itu
kepada leluhurnya dengan mengatakan: “Semoga
jasa perbuatan baik yang telah saya lakukan dengan mengulang khotbah Buddha
dapat mengkondisikan dan melimpah pada sanak saudara dan leluhur-leluhur saya
yang telah meninggal dan semoga mereka berbahagia”. Kalau kita petik dalam
kisah tersebut memang benar, bahwa para leluhur dari samanera Sanu yang dulunya
terlahir di alam dewa tingkat rendah seperti alam Catumaharajika, sehingga
sinar tubuh leluhurnya menjadi terang benderang sinarnarnya. Demikian juga para
leluhurnya yang lain yang terlahir di alam peta atau hantu dapat terlahir di
alam yang lebih bahagia. Untuk Itu pelimpahan jasa yang dilakukan oleh sanak
saudara atau yang dilakukan anak kepada leluhurnya sangat-sangat membantu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar