Sabtu, 27 Desember 2014

Memahami Tindakan dalam Keseharian



Memahami Tindakan dalam Keseharian
Oleh Haris, S.Ag

Terlahir sebagai manusia merupakan suatu kebahagiaan, kebahagiaan itu akan lengkap bila kita memahami kelahiran itu dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Hal ini Sang Buddha tegaskan dalam Dhammapada 182 bahwa: Adalah sungguh sulit untuk dapat terlahir sebagai manusia, sungguh sulit hidup sebagai manusia, sungguh sulit untuk dapat mendengarkan Dhamma….”. Lebih lanjut Sang Buddha memberi perumpamaan dan perbandingan dalam  (Nakhasitha Sutta, SN 13.1 & SN 20.2) bahwa : “Para bhikkhu lebih banyak mana antara debu yang ada di ujung kuku-Ku dengan debu yang ada di alam semesta ini, selanjutnya para bhikkhu menjawab: tidak sebanding yang mulia debu di ujung kuku Yang Mulia dengan debu yang ada di alam semesta. Selanjutnya Sang Buddha meneruskan kata-katanya, Demikian juga para bhikkhu setelah kematian manusia sungguh sangat sedikit yang terlahir sebagai manusia seperti debu yang menenpel pada kuku di ujung jari ku ini, namun setelah kematian dari alam manusia akan lebih banyak yang terlahir sebagai makhluk menderita seperti terlahir di alam Neraka, binatang, hantu, dan raksasa”.
Selanjutnya di dalam syair Dhammapada 182 di atas Sang Buddha juga menjelaskan Sungguh sulit dapat mendengarkan Dhamma. Penjelasan Sang Buddha tersebut juga sangat relevan dengan salah satu kotbah Buddha yang terdapat di dalam Digha Nikaya, Sanghiti Sutta, Sang Buddha menjelaskan bahwa terdapat sembilan saat orang tidak dapat mendengarkan dan mengikuti ajaran Sang Buddha, bila makhluk itu terlahir di: “ 1). Alam Neraka, 2) terlahir di alam Binatang, 3) terlahir dialam Hantu, 4) terlahir di alam asura/raksasa, 5) jika terlahir di dalam kelompok dewa yang berumur panjang, 6) terlahir di suatu daerah yang tidak pernah dikunjungi oleh bhikkhu, bhikkhuni, 7) jika ia terlahir yang ada ajaran buddha namun memiliki pandangan salah, 8) jika ia terlahir ditempat yang cocok ada Buddha Dhamma namun terlahir cacat tuli, 9) Jika ia terlahir di daerah yang ada Buddha Dhamma namun ia bukan pengikut Buddha”. Demikian Sang Buddha menjelaskan.
Namun jika kita menyadari dan mengerti bahwa saat ini kita hidup dalam keadaan yang mendukung dalam arti kita telah terlahir sebagai manusia dan saat ini kita dapat mempelajari, mendengarkan dan mempraktikkan Dhamma, maka kita seharusnya bersyukur bahwa hal-hal yang baik telah kita dapatkan yaitu kita dapat mengenal dan mempelajari Buddha Dhamma. Dengan bekal Buddha Dhamma dapat dipraktikkan dalam diri kita maka kita sebagai umat buddha senantiasa bertindak, berucap dan berpikir dengan baik dan dapat berhati-hati sebab melalui perbuatan, ucapan dan pikiran kita lah semua perbuatan akan kita warisi dalam kehidupan ini atau dalam kehidupan berikutnya.
Dalam Kitab Anguttara Nikaya II, hal 355 Sang Buddha menjelaskan bahwa: Kam-mas-sakâ, Kam-madâ-yâ-dâ, Kam-mayo-nî, Kam-maban-dhû, Kam-mapatisaranâ. Yam-kam-mam-karis-san-ti, Kal-yâ-nam-vâ-pâ-pakam-vâ, Tas-sadâ-yâ-dâ-bhavis-san-ti yang artinya: “Semua makhluk adalah pemilik perbuatan meraka sendiri, Terwarisi oleh perbuatan mereka sendiri, Lahir dari perbuatan meraka sendiri, Berkerabat dengan perbuatan mereka sendiri, Tergantung pada perbuatan mereka sendiri.Perbuatan apa pun yang akan mereka lakukan baik atau pun buruk; Perbuatan itulah yang akan mereka warisi”. Melalui Sabda Buddha tersebut menandakan bahwa kita sendiri yang akan menentukan kualitas perbuatan baik dan buruk, dan melalui kita sendiri yang akan menciptakan kebahagiaan atau penderitaan dalam kehidupan ini atau dalam kehidupan yang akan datang.
Sebagai umat buddha setelah mengetahui kualitas dan banyaknya perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari yang telah kita lakukan maka hendaknya kita sebagai umat buddha tidaklah lupa untuk melimpahkan jasa-jasa kebajikan yang telah kita perbuat dalam kehidupan sehari-hari yang telah kita lakukan melalui ucapan, perbuatan dan pikiran. Selanjutnya perbuatan baik itu kita limpahkan kepada leluhur-leluhur kita yang telah meninggal, seperti ayah dan ibu kita dalam kehidupan sebelum kita hidup di dunia ini. Hal tersebut juga telah dilakukan oleh Samanera Sanu dan Bhikkhu Sariputta bahwa dalam kehidupan itu mereka telah melakukan perbuatan baik dan selanjutnya dilimpahkan kepada sanak keluarga seperti ayah dan ibu di kehidupan yang lalu.
Kisah samanera Sanu Kalau kita lihat dalam kitab suci Dhammapada yang dijelaskan dalam komentarnya yaitu di dalam Dhammapada Athakattha terbitan (Vidyasena, 1997: 451) disitu terdapat kasus pelimpahan jasa. Dimana seorang samanera yang bernama samanera Sanu yang setelah mengulang khotbah Buddha atau kalau sekarang bisa dikatakan seperti membaca paritta, maka setelah selesai membaca khotbah. Selanjutnya samanera Sanu melimpahkan jasa perbuatan baik itu kepada leluhurnya dengan mengatakan: “Semoga jasa perbuatan baik yang telah saya lakukan dengan mengulang khotbah Buddha dapat mengkondisikan dan melimpah pada sanak saudara dan leluhur-leluhur saya yang telah meninggal dan semoga mereka berbahagia”. Kalau kita petik dalam kisah tersebut memang benar, bahwa para leluhur dari samanera Sanu yang dulunya terlahir di alam dewa tingkat rendah seperti alam Catumaharajika, sehingga sinar tubuh leluhurnya menjadi terang benderang sinarnarnya. Demikian juga para leluhurnya yang lain yang terlahir di alam peta atau hantu dapat terlahir di alam yang lebih bahagia. Untuk Itu pelimpahan jasa yang dilakukan oleh sanak saudara atau yang dilakukan anak kepada leluhurnya sangat-sangat membantu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar