Korban dalam Pandangan Buddhis
Oleh:
Haris, S.Ag
Pendahuluan
Kebiasaan yang dilakukan secara turun
temurun oleh seseorang dalam jangka waktu yang lama biasanya sangat sulit untuk
dirubah sehingga dapat dikatakan sebagai tradisi. Dikatakan tradisi bila tindakan
itu telah dilakukan secara terus menerus dan berlaku secara turun-temurun.
Salah satu contoh seperti tradisi selamatan laut, sadranan di punden atau
tempat keramat, grebeg dan lain sebagainya.
Tradisi seperti upacara selamatan dan
sadranan pada dasarnya masih saja dilakukan oleh manusia di jaman modern, hal
ini dapat dijumpai di salah satu desa-desa atau salah satu perkotaan dalam upacara
tahunan kirab grebeg selamatan laut dan lain sebagainya. Untuk pelaksanaan
selamatan, sadranan dan grebek biasanya dilakukan menggunakan beberapa sesajian
yang beraneka ragam, seperti tumpeng, makanan jajan pasar yang bermacam-macam
bahkan sampai makhluk hidup dijadikan sebagai syarat dalam pelaksanaan upacara
tersebut.
Pelaksanaan selamatan menggunakan
makhluk hidup sebagai salah satu sarat yang digunakan sarana ritual, seperti
daging ayam yang disembelih sendiri, kambing yang memiliki ciri-ciri tertentu
seperti kambing berkendit putih yang melingkar di perutnya untuk disembelih dan
tidak jarang kepala sapi atau kerbau dijadikan syarat dalam ritual selamatan
atau upacara pengorbanan, hal itu dapat dijumpai di salah satu upacara
selamatan di berbagai pinggir pantai sebagai tolak bala dengan harapan selalu
selamat dan banyak rejeki dalam mencari penghidupan di laut.
Bagaimanakah Pandangan
Umat Buddha Terhadap Korban?
Dalam Kitab Suci Tipitaka (Digha Nikaya, Kutadanta Sutta, 94-96:
2009) dijelaskan oleh Buddha, yaitu: Ketika Sang Buddha sedang melakukan
perjalanan melewati Magadha bersama lima ratus bhikkhu, dan beliau tiba di
sebuah desa Brahmana bernama Khanumata sehingga Beliau menetap di taman
Ambalatthika. Pada saat itu Brahmana Kutadanta bermaksud melakukan upacara
pengorbanan dengan 700 ekor sapi, 700 ekor kerbau, 700 ekor anak sapi, 700 ekor
kambing jantan dan 700 ekor domba yang semuanya diikat di tiang pengorbanan,
jumlah keseluruhan 3.500 hewan korban.
Brahmana Kutadanta pada saat itu
bertekad melakukan korban dengan tujuan agar negeri, kota keluarga dan
kehidupannya selalu dalam selamat dan penuh dengan kebahagiaan. Namun pada
kesempatan sebelum melakukan upacara pengorbanan yang besar tersebut, Brahmana
Kutadanta mengunjungi sang Buddha dan meminta nasehat berkenaan dengan
pelaksanaan korban yang akan dilakukannya. Pada saat itu sang Buddha
menceritakan kehidupan raja Mahavijita. Sang Buddha menjelaskan bahwa pada saat
raja Mahavijjita memerintah selalu melakukan pengorbanan dalam jumlah yang
besar namun pengorbanan yang dilakukan oleh Mahavijjita dilakukan dengan damai
dan tanpa setetes darah. Pengorbanan dilakukan melalui tiga cara dan enambelas
aturan yaitu pengorbanan dilakukan dengan pelepasan makhluk hidup dengan tidak
menyakitinya dan membagikan berbagai makanan dan kebutuhan-kebutuhan yang
diperlukan oleh masyarakat yang dipimpinnya.
Saat itu Brahmana Kutadanta menanyakan
kepada Sang Buddha selain tiga cara dan
enambelas aturan pengorbanan, adakah pengorbanan dengan cara lain yang lebih “TINGGI” daripada pengorbanan yang
dilakukan melalui tiga cara dan enambelas aturan seperti di atas. Selanjutnya
Sang Buddha menjelaskan dengan berkata kepada Brahmana Kutadanta: Ada Brahmana,
mohon dengar dan perhatikan jenis pengorbanan apa, yang melebihi ketiga cara
dan enambelas aturan itu, yaitu: (1). Bila seseorang berdana kepada arahat atau
pertapa atau bhikkhu yang menjalankan moralitas dengan baik. Jika hal itu tidak
dilakukan maka ada cara lain yang lebih tinggi, yaitu: (2) membangun vihara dan
menyediakan tempat tinggal atau membukakan pintu bagi bhikkhu sangaha untuk
bermalam atau bertempat tinggal. Jika hal itu tidak dilakukan maka ada cara
lain yang lebih tinggi, yaitu: (3) bila seseorang itu berlindung pada Buddha,
Dhamma dan Sangha. Jika hal itu tidak dilakukan maka ada cara lain yang lebih
tinggi, yaitu: (4) bila seseorang itu praktik atau menjalankan lima sila
Pancasila Buddhis dalam kehidupannya. Jika hal itu tidak dilakukan maka ada
cara lain yang lebih tinggi, yaitu: (5) bila seseorang itu praktik dan melatih
meditasi hingga mencapai dalam Jhana-jhana
Demikianlah cara berkorban dalam aturan
dan cara Buddhis yaitu bila yang pertama telah dilakukan maka ada yang lebih
tinggi lagi bila telah melakukan yang ke dua, namun bila yang kedua tidak
dilakukan selanjutnya seseorang melakukan cara yang ketiga maka itu pengorbanan
yang tinggi. Demikian juga bila yang ke tiga tidak dilakukan maka melakukan
yang keempat maka lebih tinggi lagi. Seterusnya bila cara yang keempat tidak
dilakukan, namun melakukan cara yang kelima maka itulah yang akan membuahkan
hasil dan kebahagiaan dalam jangka waktu yang lama dalam kehidupan ini dan
kehidupan yang akan datang.
Mengapa Korban Terhadap
Makhluk Hidup Tidak Dianjurkan dalam Agama Buddha?
Pada
prinsipnya ajaran Buddha mengenal proses Hukum Kamma. Hukum Kamma berpatokan
melalui hukum sebab dan akibat, yang mana hukum ini akan berjalan sesuai dengan
perbuatan yang telah dilakukan seseorang. Hukum Kamma dapat dipahami siapa yang
menanam maka dia pula yang akan memetik, sehingga hukum ini berjalan sebagaimana
apa adanya yaitu tidak mengatasi waktu tempat dan keadaan. Hukum ini berlaku dimana-mana
dan dapat diibaratkan tanam dan tuai, bila seseorang telah menanam biji yang
pahit maka nantinya akan memetik buah yang pahit. Demikian juga bila seseorang
telah menanam biji yang manis maka seseorang itu akan memetik buah yang manis,
demikian hukum ini berjalan, (Samyutta
Nikaya, 227)
Dalam Kitab Suci Tipitaka (Majjhima Nikaya 7 dalam Cullakammavibhangga Sutta, 2207-2210:
2008) telah dijelaskan oleh Sang Buddha, bila seseorang melakukan pembunuhan
maka akibat yang akan diperoleh adalah umur pendek. Namun sebaliknya jika
seseorang dalam hidupannya selalu menghargai kehidupan makhluk lain dengan
tindakan penuh dengan cinta kasih dan kasih sayang, maka ia akan berumur panjang.
Demikian juga bila seseorang melakukan penyiksaan terhadap makhluk hidup dengan
tongkat, kayu, batu atau pisau maka bila ia terlahir lagi sebagai manusia maka
ia akan dalam keadaan berpenyakitan. Sebaliknya bila dalam hidup seseorang
selalu melakukan tindakan penuh dengan cinta kasih dan kasih sayang maka
seseorang itu akan selalu dalam keadaan sehat demikian hukum ini dipahami.
Bagaimanakah Surga Diperoleh?
Umat Buddha tentunya tidak berpandangan
bahwa dengan melakukan pengorbanan terhadap makhluk hidup akan mendapatkan
surga? Sekali lagi pengorbanan yang benar dalam Pandangan Buddhis, bahwa
pengorbanan dilakukan melalui lima cara, yaitu: (1) Bila seseorang berdana
makanan kepada arahat atau pertapa atau bhikkhu yang menjalankan moralitas
dengan baik, (2) membangun vihara dan menyediakan tempat tinggal atau
membukakan pintu bagi bhikkhu sangha untuk bermalam atau bertempat tinggal, (3)
bila seseorang itu berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha, (4) bila
seseorang itu praktik atau menjalankan lima sila Pancasila Buddhis dalam
kehidupannya, (5) bila seseorang itu praktik dan melatih meditasi hingga
mencapai dalam Jhana-jhana. Dan bukan melalui pengorbanan yang dilakukan
melalui jalan pembunuhan terhadap makhluk lain.
Dalam Kitab Suci Tipitaka (Dhammapada, 253: 2011) syair 224 yaitu:
Hendaknya orang berbicara benar, hendaknya orang tidak marah, hendaknya orang
memberi walaupun sedikit kepada mereka yang membutuhkan.
Dengan
tiga cara ini orang dapat pergi ke alam surga. Jelaslah sesuai petikan Kitab
Suci Dhammapada tersebut bahwa surga diperoleh bukan melalui pembunuhan
terhadap makhluk lain, namun melalui berbicara benar, mengendalikan kemarahan
dan kebiasaan melepas atau memberi kepada makhluk yang membutuhkan.
Pencapaian alam surga yang penuh dengan
kebahagiaan dalam pandangan agama Buddha dapat dicapai oleh siapa pun, namun dengan
syarat jika seseorang dalam kehidupannya selalu konsisten melaksanakan ucapan
benar, tidak marah, dan suka memberi maka alam kebahagiaan surga akan
diperolehnya. Suatu pandangan keliru dan sempit bila surga hanya dimiliki oleh salah
satu keyakinan tertentu. Dalam pandangan agama Buddha surga milik siapa saja
yang mau melakukan perbuatan baik. Hal itu telah diselidiki oleh siswa Sang
Buddha Moggallana Thera dalam Kitab (Dhammapada
Atthakattha, 351-352: 1997) yaitu: Pada saat Bhikkhu Moggallana Thera
mengunjungi alam dewa yang mewah, beliau bertanya: “Melalui perbuatan baik apa telah kalian lakukan sehingga kalian
terlahir di alam surga. Selanjutnya, para dewa memberikan jawaban yang
berbeda-beda. Salah satu dewa menjawab, bahwa ia dapat terlahir di surga karena
selalu berkata benar. Dewa berikutnya menjawab ia dapat terlahir di alam dewa
karena tidak suka marah. Dan dewa terakhir memberi jawaban bahwa ia dapat
terlahir sebagai dewa karena ia suka berdana”. Dari pernyataan para dewa
yang yang telah terlahir di surga tersebut sangat jelas bahwa siapa saja yang
dengan sungguh-sungguh mau melatih dan praktik perbuatan baik dapat terlahir di
alam yang penuh kebahagiaan.
Kesimpulan
Dalam
pandangan agama Buddha segala sesuatu tindakan melalui ucapan, perbuatan dan
pikiran yang dapat merugikan diri sendiri dan makhluk lain maka tindakan itu
bukan tindakan benar. Segala sesuatu bentuk pengorbanan jika merugikan diri
sendiri dan makhluk lain hendaknya jangan dilakukan karena umat Buddha
berpedoman pada hukum sebab dan akibat. Mengenai hukum sebab dan akibat, maka
sebagai umat Buddha seseorang hendaknya dapat menciptakan perbuatan, ucapan dan
pikiran yang baik agar dapat bahagia dalam kehidupan ini dan kehidupan yang
akan datang.