Sabtu, 27 Desember 2014

Korban dalam Pandangan Buddhis



Korban dalam Pandangan Buddhis
Oleh: Haris, S.Ag

Pendahuluan
Kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun oleh seseorang dalam jangka waktu yang lama biasanya sangat sulit untuk dirubah sehingga dapat dikatakan sebagai tradisi. Dikatakan tradisi bila tindakan itu telah dilakukan secara terus menerus dan berlaku secara turun-temurun. Salah satu contoh seperti tradisi selamatan laut, sadranan di punden atau tempat keramat, grebeg dan lain sebagainya.
Tradisi seperti upacara selamatan dan sadranan pada dasarnya masih saja dilakukan oleh manusia di jaman modern, hal ini dapat dijumpai di salah satu desa-desa atau salah satu perkotaan dalam upacara tahunan kirab grebeg selamatan laut dan lain sebagainya. Untuk pelaksanaan selamatan, sadranan dan grebek biasanya dilakukan menggunakan beberapa sesajian yang beraneka ragam, seperti tumpeng, makanan jajan pasar yang bermacam-macam bahkan sampai makhluk hidup dijadikan sebagai syarat dalam pelaksanaan upacara tersebut.
Pelaksanaan selamatan menggunakan makhluk hidup sebagai salah satu sarat yang digunakan sarana ritual, seperti daging ayam yang disembelih sendiri, kambing yang memiliki ciri-ciri tertentu seperti kambing berkendit putih yang melingkar di perutnya untuk disembelih dan tidak jarang kepala sapi atau kerbau dijadikan syarat dalam ritual selamatan atau upacara pengorbanan, hal itu dapat dijumpai di salah satu upacara selamatan di berbagai pinggir pantai sebagai tolak bala dengan harapan selalu selamat dan banyak rejeki dalam mencari penghidupan di laut.

Bagaimanakah Pandangan Umat Buddha Terhadap Korban?
Dalam Kitab Suci Tipitaka (Digha Nikaya, Kutadanta Sutta, 94-96: 2009) dijelaskan oleh Buddha, yaitu: Ketika Sang Buddha sedang melakukan perjalanan melewati Magadha bersama lima ratus bhikkhu, dan beliau tiba di sebuah desa Brahmana bernama Khanumata sehingga Beliau menetap di taman Ambalatthika. Pada saat itu Brahmana Kutadanta bermaksud melakukan upacara pengorbanan dengan 700 ekor sapi, 700 ekor kerbau, 700 ekor anak sapi, 700 ekor kambing jantan dan 700 ekor domba yang semuanya diikat di tiang pengorbanan, jumlah keseluruhan 3.500 hewan korban.
Brahmana Kutadanta pada saat itu bertekad melakukan korban dengan tujuan agar negeri, kota keluarga dan kehidupannya selalu dalam selamat dan penuh dengan kebahagiaan. Namun pada kesempatan sebelum melakukan upacara pengorbanan yang besar tersebut, Brahmana Kutadanta mengunjungi sang Buddha dan meminta nasehat berkenaan dengan pelaksanaan korban yang akan dilakukannya. Pada saat itu sang Buddha menceritakan kehidupan raja Mahavijita. Sang Buddha menjelaskan bahwa pada saat raja Mahavijjita memerintah selalu melakukan pengorbanan dalam jumlah yang besar namun pengorbanan yang dilakukan oleh Mahavijjita dilakukan dengan damai dan tanpa setetes darah. Pengorbanan dilakukan melalui tiga cara dan enambelas aturan yaitu pengorbanan dilakukan dengan pelepasan makhluk hidup dengan tidak menyakitinya dan membagikan berbagai makanan dan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat yang dipimpinnya.
Saat itu Brahmana Kutadanta menanyakan kepada Sang Buddha  selain tiga cara dan enambelas aturan pengorbanan, adakah pengorbanan dengan cara lain yang lebih “TINGGI” daripada pengorbanan yang dilakukan melalui tiga cara dan enambelas aturan seperti di atas. Selanjutnya Sang Buddha menjelaskan dengan berkata kepada Brahmana Kutadanta: Ada Brahmana, mohon dengar dan perhatikan jenis pengorbanan apa, yang melebihi ketiga cara dan enambelas aturan itu, yaitu: (1). Bila seseorang berdana kepada arahat atau pertapa atau bhikkhu yang menjalankan moralitas dengan baik. Jika hal itu tidak dilakukan maka ada cara lain yang lebih tinggi, yaitu: (2) membangun vihara dan menyediakan tempat tinggal atau membukakan pintu bagi bhikkhu sangaha untuk bermalam atau bertempat tinggal. Jika hal itu tidak dilakukan maka ada cara lain yang lebih tinggi, yaitu: (3) bila seseorang itu berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha. Jika hal itu tidak dilakukan maka ada cara lain yang lebih tinggi, yaitu: (4) bila seseorang itu praktik atau menjalankan lima sila Pancasila Buddhis dalam kehidupannya. Jika hal itu tidak dilakukan maka ada cara lain yang lebih tinggi, yaitu: (5) bila seseorang itu praktik dan melatih meditasi hingga mencapai dalam Jhana-jhana
Demikianlah cara berkorban dalam aturan dan cara Buddhis yaitu bila yang pertama telah dilakukan maka ada yang lebih tinggi lagi bila telah melakukan yang ke dua, namun bila yang kedua tidak dilakukan selanjutnya seseorang melakukan cara yang ketiga maka itu pengorbanan yang tinggi. Demikian juga bila yang ke tiga tidak dilakukan maka melakukan yang keempat maka lebih tinggi lagi. Seterusnya bila cara yang keempat tidak dilakukan, namun melakukan cara yang kelima maka itulah yang akan membuahkan hasil dan kebahagiaan dalam jangka waktu yang lama dalam kehidupan ini dan kehidupan yang akan datang.

Mengapa Korban Terhadap Makhluk Hidup Tidak Dianjurkan dalam Agama Buddha?
Pada prinsipnya ajaran Buddha mengenal proses Hukum Kamma. Hukum Kamma berpatokan melalui hukum sebab dan akibat, yang mana hukum ini akan berjalan sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan seseorang. Hukum Kamma dapat dipahami siapa yang menanam maka dia pula yang akan memetik, sehingga hukum ini berjalan sebagaimana apa adanya yaitu tidak mengatasi waktu tempat dan keadaan. Hukum ini berlaku dimana-mana dan dapat diibaratkan tanam dan tuai, bila seseorang telah menanam biji yang pahit maka nantinya akan memetik buah yang pahit. Demikian juga bila seseorang telah menanam biji yang manis maka seseorang itu akan memetik buah yang manis, demikian hukum ini berjalan, (Samyutta Nikaya, 227)
Dalam Kitab Suci Tipitaka (Majjhima Nikaya 7 dalam Cullakammavibhangga Sutta, 2207-2210: 2008) telah dijelaskan oleh Sang Buddha, bila seseorang melakukan pembunuhan maka akibat yang akan diperoleh adalah umur pendek. Namun sebaliknya jika seseorang dalam hidupannya selalu menghargai kehidupan makhluk lain dengan tindakan penuh dengan cinta kasih dan kasih sayang, maka ia akan berumur panjang. Demikian juga bila seseorang melakukan penyiksaan terhadap makhluk hidup dengan tongkat, kayu, batu atau pisau maka bila ia terlahir lagi sebagai manusia maka ia akan dalam keadaan berpenyakitan. Sebaliknya bila dalam hidup seseorang selalu melakukan tindakan penuh dengan cinta kasih dan kasih sayang maka seseorang itu akan selalu dalam keadaan sehat demikian hukum ini dipahami.

Bagaimanakah Surga Diperoleh?
Umat Buddha tentunya tidak berpandangan bahwa dengan melakukan pengorbanan terhadap makhluk hidup akan mendapatkan surga? Sekali lagi pengorbanan yang benar dalam Pandangan Buddhis, bahwa pengorbanan dilakukan melalui lima cara, yaitu: (1) Bila seseorang berdana makanan kepada arahat atau pertapa atau bhikkhu yang menjalankan moralitas dengan baik, (2) membangun vihara dan menyediakan tempat tinggal atau membukakan pintu bagi bhikkhu sangha untuk bermalam atau bertempat tinggal, (3) bila seseorang itu berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha, (4) bila seseorang itu praktik atau menjalankan lima sila Pancasila Buddhis dalam kehidupannya, (5) bila seseorang itu praktik dan melatih meditasi hingga mencapai dalam Jhana-jhana. Dan bukan melalui pengorbanan yang dilakukan melalui jalan pembunuhan terhadap makhluk lain.
Dalam Kitab Suci Tipitaka (Dhammapada, 253: 2011) syair 224 yaitu: Hendaknya orang berbicara benar, hendaknya orang tidak marah, hendaknya orang memberi walaupun sedikit kepada mereka yang membutuhkan.
Dengan tiga cara ini orang dapat pergi ke alam surga. Jelaslah sesuai petikan Kitab Suci Dhammapada tersebut bahwa surga diperoleh bukan melalui pembunuhan terhadap makhluk lain, namun melalui berbicara benar, mengendalikan kemarahan dan kebiasaan melepas atau memberi kepada makhluk yang membutuhkan.
Pencapaian alam surga yang penuh dengan kebahagiaan dalam pandangan agama Buddha dapat dicapai oleh siapa pun, namun dengan syarat jika seseorang dalam kehidupannya selalu konsisten melaksanakan ucapan benar, tidak marah, dan suka memberi maka alam kebahagiaan surga akan diperolehnya. Suatu pandangan keliru dan sempit bila surga hanya dimiliki oleh salah satu keyakinan tertentu. Dalam pandangan agama Buddha surga milik siapa saja yang mau melakukan perbuatan baik. Hal itu telah diselidiki oleh siswa Sang Buddha Moggallana Thera dalam Kitab (Dhammapada Atthakattha, 351-352: 1997) yaitu: Pada saat Bhikkhu Moggallana Thera mengunjungi alam dewa yang mewah, beliau bertanya: “Melalui perbuatan baik apa telah kalian lakukan sehingga kalian terlahir di alam surga. Selanjutnya, para dewa memberikan jawaban yang berbeda-beda. Salah satu dewa menjawab, bahwa ia dapat terlahir di surga karena selalu berkata benar. Dewa berikutnya menjawab ia dapat terlahir di alam dewa karena tidak suka marah. Dan dewa terakhir memberi jawaban bahwa ia dapat terlahir sebagai dewa karena ia suka berdana”. Dari pernyataan para dewa yang yang telah terlahir di surga tersebut sangat jelas bahwa siapa saja yang dengan sungguh-sungguh mau melatih dan praktik perbuatan baik dapat terlahir di alam yang penuh kebahagiaan.

Kesimpulan
Dalam pandangan agama Buddha segala sesuatu tindakan melalui ucapan, perbuatan dan pikiran yang dapat merugikan diri sendiri dan makhluk lain maka tindakan itu bukan tindakan benar. Segala sesuatu bentuk pengorbanan jika merugikan diri sendiri dan makhluk lain hendaknya jangan dilakukan karena umat Buddha berpedoman pada hukum sebab dan akibat. Mengenai hukum sebab dan akibat, maka sebagai umat Buddha seseorang hendaknya dapat menciptakan perbuatan, ucapan dan pikiran yang baik agar dapat bahagia dalam kehidupan ini dan kehidupan yang akan datang.

Relevansi Ajaran Tumimbal Lahir dalam Dunia Modern



Relevansi Ajaran Tumimbal Lahir dalam Dunia Modern
Oleh: Haris, S.Ag.


Anekajāti saṁsāraṁ Sandhāvissaṁ anibbisaṁ Gahakārakaṁ gavesanto Dukkhā jāti punappunaṁ
Tumimbal lahir merupakan lingkaran penderitaan yang tiada akhirnya. Berkelana tanpa menemukan pendiri “rumah” ini, kelahiran yang berulang-ulang adalah penderitaan, (Dhammapada, Jara Vagga: 153)

Pendahuluan

Dalam ajaran Buddha, umat Buddha mengenal pokok-pokok ajaran Buddha, salah satu pokok ajaran dalam Buddhisme adalah keyakinan pada Hukum Kamma dan Punnabhava. Hukum ini saling berkaitan dalam bekerjanya. Menurut Digha Nikaya Mahanidana Sutta (khotbah panjang tentang asal mula) yang saling bergantungan, salah satu kelahiran mengkondisikan usia tua dan kematian, jika tidak ada kelahiran maka tidak ada kondisi  bagi usia tua  dan kematian, (Walshe, 2009: 191). Hal tersebut relevan dengan khotbah Sang Buddha dalam AN III [224] disaat bhikkhu Ananda bertanya kepada Sang Buddha tentang penjelmaan, Sang Buddha menjelaskan: “Demikianlah, Ānanda, bagi makhluk-makhluk yang terhalangi oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh ketagihan, maka kamma adalah lahannya, kesadaran adalah benihnya, dan ketagihan adalah kelembaban bagi kesadaran mereka untuk tumbuh di alam rendah, menengah dan alam tinggi. Dengan cara inilah terjadi produksi penjelmaan baru di masa depan. “Jika, Ānanda, tidak ada kamma yang matang di alam indria, alam berbentuk dan alam tanpa bentuk, mungkinkah penjelmaan di alam itu terlihat?” tidak bhante.
Semua makhluk yang hidup di dunia tidak lepas dari kelahiran dan kematian. Kematian tidak berarti memasuki kehidupan abadi, tetapi sebaliknya, merupakan pintu gerbang menuju tumimbal lahir baru yang akan diikuti oleh pertumbuhan, pelapukan, dan kematian. Kematian dalam pandangan agama Buddha tidak dianggap sebagai akhir dari kehidupan. Selama lobha (keserakahan), dosa (kebencian), serta moha (kegelapan atau kebodohan batin) belum dilenyapkan, kematian adalah awal dari kelahiran.

Proses kematian
            Bagaimanakah proses kematian terjadi? Dalam Abhidhammaatasangaha bahwa pada saat kematian terjadi, kesadaran kematian (cuti citta) lenyap, selanjutnya muncul kesadaran penyambung (patisandhi-citta) untuk meneruskan siklus kehidupan berikutnya, (Kaharuddin, 1989: 28). Keduanya saling berhubungan dan tidak memiliki waktu antara. Misalnya seseorang yang baru meninggal dari alam manusia, segera lahir kembali sebagai makhluk lain, apakah sebagai makhluk menderita, sebagai manusia atau terlahir sebagai makhluk bahagia di alam surga atau brahma.

Empat jenis kelahiran
Sedangkan umat Buddha mengenal kelahiran yang terbagi menjadi empat jenis. Dalam Digha Nikaya Sangiti Sutta bhikkhu Sariputta menyebutkan empat jenis kelahiran, yaitu kelahiran melalui kandungan, telur, kelembaban, dan spontan, (Walshe, 2009: 522). Sedangkan kelahiran sebagai manusia kita mengenal kelahiran melalui kandungan.

Proses kehidupan sebagai manusia
Bagaimanakah proses kelahiran melalui kandungan sebagai manusia? Sang Buddha menjelaskan dalam Majjhima Nikaya II Mahatanhasankhaya Sutta [266] bahwa kelahiran sebagai manusia dipengaruhi tiga faktor, yaitu: “Bila ibu dan ayah berkumpul dan hari itu masa subur sang ibu, selanjutnya calon makhluk yang akan dilahirkan ada maka melalui tiga faktor itu makhluk atau benih kehidupan muncul, (Anggawati dan Cintiawati, 2005: 743).

Berbagai bukti kelahiran ulang di jaman Sang Buddha
Dalam Majjhima Nikaya II Mahasaccaka Sutta [248] disaat setelah pertapa Sidharta mencapai Bodhi dan dalam waktu jaga pertama beliau mengarahkan pada pengetahuan tentang ingatan pada kehidupan-kehidupan lampau sehingga beliau mengingat satu kehidupan, dua kehidupan, tiga kehidupan dan sampai beribu-ribu kehidupan. Selanjutnya di malam jaga kedua Sang Buddha mengarahkan pengetahuannya tentang lenyap dan muncul kembalinya para makhluk-makhluk, melalui mata dewa yang termurnikan Sang Buddha mampu melihat para makhluk muncul dan lenyap dan muncul kembali, rendah dan agung, elok dan buruk rupa beliau memahami sesuai dengan perbuatan mereka, (Anggawati dan Cintiawati, 2005: 704-705).
Dalam Samyutta Nikaya I Devaputtasamyutta [56] Anathapindika setelah meninggal terlahir sebagai dewa Tusita selanjutnya mendatangi Vihara Jetavana, Anathapindika bersujud dengan hormat kepada Sang Buddha dan beliau mengatakankan: “Jetavana sudah menjadi tempat tinggal tetap Sang Buddha dan Sangha, saya sangat gembira, selanjutnya Sang Buddha menceritakan kejadian itu kepada para Bhikkhu”, (Anggawati dan Cintiawati, 2007: 312-313). Selain itu dalam Dhammapada Atthakatha syair 224 siswa Buddha mampu membuktikan juga keberadaan kelahiran kembali melalui kunjungan bhikkhu Moggallana ke alam-alam surga. Bhikkhu Moggallana bertanya kepada salah satu dewa, atas  perbuatan baik apa yang telah dilakukan sehingga engkau dapat terlahir di alam Dewa. Dewa itu menjawab karena ia sering banyak berdana, ( Tim Penterjemah, 2012: 374-375).



Relevansi tumimbal lahir dan bukti-bukti kelahiran ulang di jaman modern
Kelahiran ulang tidak hanya sekedar mitos, namun berbagai ilmuwan modern mampu meneliti dan membuktikan keberadaan kelahiran kemabali. Dalam buku Born Again karya dr. Walter Semkiw menuliskan bahwa seorang Peneliti Kelahiran kembali DR. Ian Stevenson yang merupakan Profesor dari Fakultas Psikologi Universitas Virginia U.S.A. Beliau adalah seorang ilmuwan yang telah diakui kepakarannya, yang telah mempelajari kasus-kasus anak-anak yang ingat akan kehidupan-kehidupan lampau mereka selama empat puluh tahun, (Semkiw, 2008: 34). Selain itu dalam buku Karma Pencipta Sesungguhnya yang dituliskan oleh DR. Mehm Tin Mon berkebangsaan Srilanka beliau menyebutkan salah satu anak bernama William James Sidis, bayi ajaib dari Amerika bisa membaca dan menulis ketika berumur dua tahun. Dia bisa berbicara bahasa Prancis, Rusia, Inggris, Jerman dan sedikit Latin dan Yunani ketika berumur delapan tahun, ( Mon, 2011: 32).
Selain itu kehidupan lampau dapat diingat dengan Regresi melalui Hipnosis. Cara ini dilakukan karena orang-orang yang tidak mampu mengingat kehidupan lampau mereka bisa dilakukan dengan cara dihipnosis dan diminta menceritakan kehidupan lampau mereka. Dengan hipnosis seseorang bisa ditanya oleh orang yang menghipnosis untuk menjawab pertanyaan tentang pengalaman masa lalu, tentang kejadian masa kecil dan tentang kehidupan lampaunya. Salah satu contoh Ibu N. Baker, seorang ibu rumah tangga di Inggris, tidak bisa berbicara bahasa Prancis. Dia tidak pernah mempelajari bahasa Prancis dan dia tidak pernah pergi ke Prancis. Tetapi ketika dia dihipnosis, dia mampu berbicara banyak kejadian yang terjadi di Paris dalam bahasa Prancis yang lancar, (Ibid, 2011: 34).
Sebuah tim psikologi dan dokter yang bekerjasama dengan Technische Universitat Berlin, Jerman, baru-baru ini mengumumkan bahwa ada beberapa bentuk kehidupan setelah kematian. Para dokter memberikan kesimpulan dari penelitian medis yang mereka lakukan terhadap pengalaman seseorang menjelang kematian. Para tim peneliti mengawasi kondisi pasien yang secara medis dinyatakan mati selama hampir 20 menit sebelum hidup kembali. Proses ini diulang  pada 944 orang sukarelawan selama empat tahun terakhir. Untuk membuat pasien dalam keadaan mati, tim peneliti melakukan pencampuran terhadap beberapa jenis obat-obatan termasuk yang memungkinkan tubuh untuk bertahan dalam keadaan mati secara medis hingga melalui proses penghidupan kembali tanpa merusak tubuh, (http://myfitriblog.wordpress.com/2014/09/19/para-ilmuwan-jerman-buktikan-ada-kehidupan-setelah kematian/).

Jalan mencapai kelahiran ulang yang baik
Bagaimana Jalan mencapai kelahiran yang baik? Dalam Majjhima Nikaya III Saleyyaka Sutta [286] ketika itu Sang Buddha sedang mengembara di Negeri Kosala, perumah tangga di Desa Sala datang menjumpai Sang Buddha dan menanyakan, “Bhante Gotama, apakah penyebab mengapa sebagian makhluk, saat hancurnya tubuh, setelah mati, terlahir ulang dalam keadaan sengsara, di tempat buruk, di alam rendah, di neraka? Dan apa penyebab mengapa sebagian makhluk, saat hancurnya tubuh, setelah mati, terlahir ulang di tempat baik, di alam surgawi? Sang Buddha menjawab, “Para perumah tangga, karena perilaku yang buruklah, yaitu perilaku yang tidak sejalan dengan Dhamma, maka sebagian makhluk, saat hancurnya tubuh, setelah mati, terlahir ulang dalam keadaan sengsara, di tempat buruk, di alam rendah, di neraka. Karena perilaku yang baiklah, yaitu perilaku yang sejalan dengan Dhamma, maka sebagian makhluk saat hancurnya tubuh, setelah mati, terlahir ulang di tempat yang baik, di alam surgawi”, (Anggawati dan Cintiawati, 2006: 786-787).
Dengan demikian perilaku yang baik melalui ucapan, perbuatan jasmani dan pikiran yang baik akan menghantarkan dan mengkondisikan makhluk terlahir di alam bahagia.

Kesimpulan
            Salah satu Pokok Ajaran Buddha adalah Hukum Kamma dan Punnabhava yaitu ajaran tentang kelahiran kembali. Sebagai makhluk hidup selama lobha (keserakahan), dosa (kebencian), serta moha (kegelapan atau kebodohan batin) belum dilenyapkan, maka kelahiran dan kematian akan terus mengikuti makhluk tersebut. Hal tersebut telah Sang Buddha jelaskan dalam berbagai khotbah Buddha yang menjelaskan pada kelahiran dan kematian sehingga para murid-murid Buddha seperti bhikkhu Moggallana mampu membuktikann kelahiran ulang.
            Kelahiran ulang tidak hanya sekedar mitos, namun para ilmuwan mampu menyelidiki dan membuktikan keberadaan kelahiran ulang dengan berbagai metodenya. Dengan demikian, sebagai umat Buddha sebelum terealisasi tujuan akhir Nibbana minimal mampu menciptakan kelahiran ulang yang baik dengan cara menjaga kualitas ucapan, tindakan jasmani dan pikiran melalui praktik ajaran Buddha sedikit demi sedikit.

DAFTAR PUSTAKA

Anggawati dan Cintiawati. 2005. Majjhima Nikaya Kitab Suci Agama Buddha II . Klaten: Vihara Bodhivamsa.
___________. 2006. Majjhima Nikaya Kitab Suci Agama Buddha III . Klaten: Vihara Bodhivamsa.
___________. 2007. Samyutta Nikaya Kitab Suci Agama Buddha I . Klaten: Vihara Bodhivamsa.
Jhoe Wain. 2014. Para Ilmuwan Jerman Buktikan Ada Kehidupan Setelah Kematian, (Online), (http://myfitriblog.wordpress.com/2014/09/19/para-ilmuwan-jerman-buktikan-ada-kehidupan-setelah kematian/, diakses 16 Oktober 2014).
Kaharuddin J. Pandit. 1989. Abhidhammatthasangaha. Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda.
Mon. 2010. Karma Pencipta Sesungguhnya. Terjemahan Agus Wiyono dan Lai Moi. 2011. Tanpa Kota: Yayasan Hadaya Vatthu.
Semkiw Walter. 2006. Born Again. Terjemahan oleh Tas Fan Sadikin. 2008. Tanpa Kota: Awareness Publication
Tim Penterjemah Vidyasena. 2012. Dhammapada Atthakatha Kisah-Kisah Dhammapada. Yogyakarta: Vidyasena Production Vihara Vidyaloka.
Walshe Maurice. 1995. Khotbah-Khotbah Panjang Sang Buddha Digha Nikaya. Terjemahan oleh Team Giri Manggala Publication dan Team DhammaCitta Press. 2009. Tanpa Kota: DhammaCitta

Dhamma untuk Perumah Tangga dalam Vyaggapajja Sutta



Dhamma untuk Perumah Tangga dalam Vyaggapajja Sutta
Oleh: Haris, S.Ag

Jika ditinjau lebih jauh, sebenarnya ajaran Buddha tidak hanya mencakup bhikkhu dan bhikkhuni saja, tetapi juga umat perumah tangga pria dan wanita. Keempat kelompok yang membentuk komunitas Buddhis ini memiliki satu tujuan akhir. Tujuan itu adalah pencapaian pembebasan akhir atau Nibbana.
Walaupun Nibbana berarti pembebasan akhir dari tiga kotoran batin yang berupa keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, namun dalam perjalanannya menuju pembebasan, seorang umat Buddha harus hidup di dunia dan berhadapan dengan kondisi-kondisi eksistensi duniawi. Masalah ini mungkin sering sekali dirasakan, khususnya oleh umat Buddha perumah tangga, yang mungkin menemukan bahwa tuntutan-tuntutan dan daya tarik dari kehidupan duniawi cenderung membawa seseorang menjauh dari jalan menuju pembebasan. Akan tetapi, Buddha menyadari dan memperhatikan dilema yang dihadapi oleh siswa-siswa perumah tangga serta memberikan perhatian khusus terhadap masalah tersebut. Beliau mengajarkan para pengikut perumah tangga tentang bagaimana cara mengatur kehidupan perumah tangga sesuai dengan prinsip-prinsip etis dalam Dhamma dan bagaimana cara menjalani kehidupan perumah tangga yang sukses tanpa menyimpang dari jalan yang benar sesuai Buddha-Dhamma.
Untuk itu di dalam Anguttara Nikaya dijelaskan di jaman Sang Buddha ada seorang pemuda dari keluarga Vyagghapajja bernama Dighajanu yang tinggal di kota Kakkarapata, Kerajaan Koliya. Dalam sutta itu disebutkan Dighajanu sewaktu mengunjungi Sang Buddha ia memohon agar Sang Buddha berkenan memberikan suatu ajaran yang berguna bagi upasaka yang berkeluarga, yang mempunyai isteri dan anak untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang.
Sang Buddha menjelaskan, bahwa ada empat cara untuk mendapatkan kebahagiaan sekarang atau dalam kehidupan saat ini, yaitu:
1. Seseorang hendaknya ahli, efisien, tekun dan giat dalam setiap pekerjaan dan mengerti serta memahami pekerjaan yang dilakukannya dengan baik. (seorang yg ahli)
2. Ia pandai melindungi penghasilan yang diperolehnya dari pekerjaan yang benar, bahkan melipat gandakannya.
3. Ia mencari pergaulan yang baik (Kalyanamitta), yaitu teman yang setia, terpelajar, baik budi, tidak kikir dan cerdas, yang akan membantunya dengan cara yang benar, jauh dari kejahatan.
4. Ia hidup dalam batas-batas kemampuannya, sesuai dengan penghasilannya, serta tidak boros namun juga tidak pelit
Selanjutnya, terdapat empat hal yang berguna untuk mendapatkan kebahagiaan yang akan datang, atau kebahagiaan di kehidupan berikutnya yaitu:
1. Seseorang memiliki keyakinan yang kuat terhadap Tiratana
2. Seseorang senantiasa hidup dalam moralitas Buddhis, yaitu  mempraktikkan 5 sila pancasila Buddhis
3.  Seseorang selalu memiliki kedermawanan, yaitu suka menolong orang lain dan baik hati
4.  Seseorang melatih diri dalam kebijaksanaan dengan selalu mengembangkan pandangan benar yang akan membawa pada pembebasan akhir yaitu nibbana.
Dari Sutta tersebut terlihat bahwa kesejahteraan ekonomi diperlukan untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi ini, namun tidak memandang kemajuan itu sebagai sesuatu yang benar kalau hanya didasarkan atas kebendaan dengan mengabaikan dasar-dasar moral spiritual atau kebahagiaan batin. Untuk itu sebagai perumah tangga kemajuan materi merupakan salah satu tujuan di dunia, namun tidak melupakan pentingnya kemajuan moralitas dan batin untuk menghasilkan suatu masyarakat yang bahagia, aman dan sejahtera.