POSISI AJARAN CINTA KASIH DALAM AGAMA BUDDHA
Oleh:
PMd. Haris, S.Ag
A.
Pendahuluan
Masih banyak manusia pada kehidupan
sekarang tidak menggunakan cinta kasih (mettā) sebagai dasar dalam
pelaksanaan aturan kemoralan. Cinta kasih (mettā) dirumuskan sebagai keinginan
akan membahagiakan semua makhluk tanpa kecuali (Wowor, 2005: 76). Pengembangan
cinta kasih (mettā) ditujukan kepada diri sendiri, orang lain, atau
bahkan untuk semua makhluk.
Pembunuhan banyak terjadi.
Salah satu penyebab pembunuhan adalah adanya kebencian atau rasa tidak suka
terhadap orang lain maupun makhluk lain, misalnya binatang. Sebagai contoh,
jika seseorang digigit nyamuk maka rasa benci terhadap nyamuk tersebut akan
muncul dan menyebabkan seseorang membunuhnya, sedangkan kebencian adalah lawan
dari cinta kasih. Pembunuhan telah menjadi salah satu fenomena kehidupan
modern; peperangan, konflik ras, peternakan binatang untuk sekadar melayani
kebutuhan pasar manusia akan daging, dan penggunaan insektisida yang berbahaya
(Sivaraksa, 2001: 88). Pembunuhan merupakan suatu contoh di mana tidak adanya
cinta kasih antarsesama, baik kepada orang lain maupun makhluk lain termasuk binatang.
Adanya pembunuhan berarti ada pihak yang dirugikan dan menimbulkan penderitaan
bagi makhluk lain. Pembunuhan menunjukkan tidak adanya kepedulian (cinta kasih)
kepada sesama.
B. Cinta
Kasih sebagai Landasan Keharmonisan
Mettā adalah rasa persaudaraan, persahabatan,
pengorbanan, yang mendorong kemauan baik, memandang makhluk lain sama dengan
dirinya sendiri (Dhammasugiri, 2004: 21). Hal tersebut mencerminkan bahwa
dengan melaksanakan cinta kasih maka akan dapat tercipta keharmonisan.
Seseorang yang mengembangkan cinta kasih berarti mempraktikkan prinsip tanpa
kekerasan. Kejahatan adalah sumber adanya ketidakharmonisan. Mettā adalah
satu-satunya jawaban efektif bagi kekerasan dan penghancuran, baik dari senjata
konvensional maupun peluru nuklir (Bogoda, 2003: 70). Seperti yang dialami
Buddha sendiri ketika sedang bermeditasi kemudian diganggu oleh mara,
dengan kekuatan cinta kasih panah dan lautan api tidak bisa melukai Buddha. Berdasarkan Ańguttara Nikāya (Hare, 2001: 103)
manfaat dari mengembangkan cinta kasih adalah tidak ada api, racun, maupun
pedang yang dapat melukainya. Cinta kasih merupakan kekuatan dari dalam diri
seseorang sebagai pencegah perbuatan buruk. Pengembangan cinta kasih bertujuan
untuk memisahkan pikiran dari kebencian. Prinsip dari cinta kasih adalah tidak
menyakiti, bebas dari rasa benci, dan permusuhan.
Sesuai dengan macam-macam
cinta yang dikemukakan oleh Davids (1915: 159-162) yaitu adanya cinta keluarga
dan saudara. Keharmonisan hendaknya tercipta sejak dalam lingkup keluarga.
Hubungan antar anggota keluarga seharusnya didasari oleh cinta kasih. Setelah
mengembangkan cinta kasih kepada keluarga, maka cinta kasih dikembangkan kepada
sahabat atau teman. Keharmonisan akan terwujud dalam hubungan sahabat. Keharmonisan dapat terwujud dengan adanya
cinta kasih karena cinta kasih dirumuskan sebagai keinginan akan kebahagian
semua makhluk tanpa kecuali. Setelah mengetahui manfaat dari cinta kasih maka
akan dapat diketahui bahwa cinta kasih dapat membawa keharmonisan di
masyarakat. Pengembangan cinta kasih terdapat unsur menghormati dan kepedulian
kepada yang lain. Adanya saling menghormati dan saling peduli akan tercipta
keharmonisan. Cinta kasih atau mettā sering dikatakan sebagai keinginan
suci yang mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk-makhluk lain,
seperti seorang sahabat mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan temannya
(Wowor, 2005: 76). Adanya
keinginan atau niat seseorang untuk kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain maka akan menciptakan keharmonisan. Mettā
menambah kemurahan hati pada sifat seseorang, memberikan keakraban,
membebaskan diri dari kejengkelan dan selalu menimbulkan kegembiraan,
keramah-tamahan serta tidak ada rasa permusuhan atau keinginan untuk menyakiti
makhluk lain bahkan terhadap makhluk yang paling kecil sekalipun, yang biasanya
disebabkan karena kebencian, kemarahan atau hanya karena iseng (Ñanasamvara,
2001: 15). Kebencian adalah lawan dari cinta kasih. Apabila dalam hubungan
antara satu dengan yang lain tidak terdapat kebencian dan permusuhan maka dapat
tercipta keharmonisan dan kedamaian dalam suatu masyarakat. Cinta kasih dapat
menciptakan keharmonisan.
Seseorang dalam
menjalani kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, keharmonisan sangat
diharapkan. Untuk menciptakan
keharmonisan maka diperlukan saling mencintai, saling menghormati, saling
menolong, dan saling menghindari percekcokkan. Ada beberapa cara agar terwujud
keharmonisan, salah satunya yaitu dengan mengembangkan cinta kasih. Berdasarkan Sārāņīyadhamma Sutta,
Ańguttara Nikāya (Hare, 2001: 203) Buddha mengatakan kepada para bhikkhu
bahwa apabila seseorang memiliki perbuatan, ucapan, dan pikiran yang
disertai cinta kasih terhadap sesama, baik di depan atau pun di belakangnya,
akan tercipta pengembangan cinta kasih. Pengembangan cinta kasih melalui perbuatan di
antaranya dengan cara ringan tangan membantu sesama. Pengembangan cinta kasih
dilakukan dengan kelembutan dan kasih, sehingga yang ada hanya rasa kasih,
bahagia dan damai, baik memberi atau menerima pertolongan. Pengembangan cinta
kasih melalui ucapan, diantaranya menghindari bicara kasar, memfitnah, omong
kosong, dan berbohong. Bertutur kata yang ramah, sopan santun maka akan
tercipta keceriaan, tidak akan ada pertengkaran, keributan, dan permusuhan.
Kitab Dhammapada, Khuddaka Nikāya (Norman, 2004:1) menyatakan ”For
not by hatred are hatreds ever quenched here, but they are quenched by
non-hatred. This is the ancient.” Pengembangan cinta kasih melalui pikiran
diantaranya dengan melatih pikiran untuk selalu menyertai dan melandasi pikiran
dengan cinta kasih, sehingga akan terpancar melalui wajah sinar kasih yang
mengalir setiap saat. Pada
akhirnya tidak akan ada curiga, salah sangka, ingin menyakiti dan rasa benci.
Mettā merupakan sebuah kekuatan yang tidak hanya
membawa kebahagiaan kepada dirinya sendiri tetapi juga untuk makhluk di
sekitarnya (Janaka, 2003: 78). Untuk mempraktikkan cinta kasih, seseorang harus
bebas dari sifat mementingkan diri sendiri. Siapa pun yang bertemu dengan orang
yang memiliki kekuatan cinta kasih akan turut merasa bahagia, damai, dan tenteram.
Cinta kasih merupakan kekuatan yang dihimpun dengan suatu pengharapan agar
kebahagiaan dan kedamaian melingkupi seluruh kehidupan semua makhluk.
Pengembangan cinta
kasih ditujukan kepada semua makhluk, misalnya kepada binatang, dan makhluk yang
tidak tampak. Keharmonisan yang ditimbulkan dari pengembangan cinta kasih tidak
hanya kepada sesama manusia, tetapi keharmonisan manusia dengan binatang, dan
keharmonisan manusia dengan makhluk halus atau makhluk tidak nampak. Contoh
dari pengembangan cinta kasih antara manusia dengan binatang dan makhluk halus,
yaitu tidak mengganggu antara makhluk yang satu dengan makhluk yang lain. Tidak
mengganggu maka keharmonisan akan tercipta. Pengembangan cinta kasih tidak
memandang makhluk apa pun, baik yang dikenal atau tidak, apakah makhluk
tersebut tampak atau tidak, apakah makhluk tersebut adalah seorang musuh, atau
seseorang yang sangat dicintai, atau bahkan makhluk tersebut adalah binatang.
Kesemua jenis makhluk diberikan pancaran cinta kasih. Seperti yang terdapat
dalam Mettā Sutta (Norman, 2001: 19) bahwa:
Whatever
living creatures there are, moving or still without exception, whichever are
long or large, or middle-sized or short, small or great, whichever are seen or
unseen, whichever live far or near, whichever they already exist or are going
to be, let all creatures be happy minded.
Cinta
kasih tidak hanya menciptakan keharmonisan dalam hubungan keluarga, sahabat,
maupun masyarakat tetapi dapat menciptakan keharmonisan dunia, yaitu
keharmonisan antara manusia dengan alam sekitar, baik dengan makhluk halus atau
bahkan binatang. Tidak akan ada kebencian di dalamnya. Cinta kasih bukanlah
persaudaraan yang berdasarkan politik, ras, bangsa, atau pun agama (Wowor,
2005: 77). Cinta kasih dikembangkan tidak memandang kepada siapa pun. Cinta
kasih yang dipancarkan bukanlah perasaan cinta atas nafsu, tetapi cinta kasih
dikembangkan seperti yang disebutkan dalam Mettā Sutta (Norman, 2001:
19) yaitu:
Just
as a mother would protect with her life her own son, her only son, so one
should cultivate an unbounded mind towards all beings, and loving-kindness
towards all the world. One should cultivate an unbounded mind, above and below
and across, without obstruction, without enmity, without rivalry.
Perasaan
cinta kasih yang dimiliki oleh seorang ibu bukan cinta yang didasarkan atas
nafsu untuk memiliki, tetapi keinginan yang murni untuk menyejahterakan dan
membahagiakan anaknya. Pengembangan cinta kasih yang dimiliki seorang ibu
kepada anaknya yang tunggal adalah yang diharapkan dalam pengembangan cinta
kasih kepada semua makhluk, yaitu pengembangan cinta kasih yang terwujud dalam
keinginan sepenuh hati untuk menyejahterakan dan membahagiakan semua makhluk
tanpa kecuali, dan cinta kasih dipancarkan ke segala penjuru, begitu pula ke
atas, ke bawah, ke sekeliling, ke semua arah. Seperti yang dijelaskan dalam Vatthûpama Sutta, Majjhima Nikāya (Horner,
2000: 48) yaitu:
He
dwells, having suffused the first quarter with a mind of friendliness, likewise
the second, likewise the third, likewise the fourth; just so above, below,
across; he dwells having suffused the whole world every way, with a mind of
friendliness that is far-reaching, wide-spread, immeasurable, without enmity,
without malevolence.
Mettā
adalah niat baik, cinta kasih, cinta universal; suatu perasaan persahabatan
dan perhatian tulus terhadap semua makhluk hidup, manusia atau bukan manusia
dalam segala situasi. Tanda utama mettā
adalah niat baik: keinginan kuat untuk meningkatkan kesejahteraan orang
lain. Mettā menundukkan kebencian dalam segala bayangannya: kemarahan,
niat buruk, keengganan, dan dendam. Tidak adanya kemarahan, niat buruk, dan dendam maka kerukunan dan
keharmonisan dalam masyarakat akan tercipta.
Berdasarkan Sārāņīyadhamma
Sutta, Ańguttara Nikāya (Hare, 2001: 203) Buddha mengatakan kepada para bhikkhu
bahwa apabila seseorang memiliki perbuatan, ucapan, dan pikiran yang
disertai cinta kasih terhadap sesama, baik di depan atau pun di belakangnya.
Hal tersebut yang membuat saling dikenang, dicintai, saling dihormati, dan
menunjang untuk saling ditolong, untuk ketiada-cekcokan, kerukunan, dan
kesatuan. Apabila seseorang memiliki cinta kasih tidak akan mungkin
menyakiti orang lain, karena prinsip dari pengembangan cinta kasih adalah
mengharapkan makhluk lain bahagia. Seseorang akan menolong, membantu, dan
membuat orang lain bahagia. Menolong orang lain merupakan praktik cinta kasih,
karena cinta kasih adalah sesuatu kekuatan aktif. Setiap tindakan mencintai
yang dilakukan dengan pikiran tak bernoda untuk menolong, membantu,
menyenangkan, membuat jalan orang lain mudah, lebih halus, dan lebih sesuai
penaklukan kesedihan, adalah kebahagiaan tertinggi (Dhammananda, 2004: 242).
Membahagiakan orang lain, maka seseorang akan merasa bahagia, karena orang yang
melakukan perbuatan baik akan mendapatkan akibat yang baik, sedangkan orang
yang melakukan kejahatan akan menuai hasil dari perbuatan jahat. Berdasarkan
Kitab Dhammapada, Khuddaka Nikāya (Norman, 2004: 19) dijelaskan bahwa: ”Not
in the sky, not in the middle of the sea, not entering an opening in the
mountains is there that place on earth where standing one might be freed from
evil action.” Seseorang akan mendapatkan akibat dari segala sesuatu yang
telah dilakukan baik atau pun buruk. Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebaikan, pembuat kejahatan akan
mendapatkan kejahatan. Seseorang tidak dapat mengingkari sebuah akibat dari
perbuatannya.
C. Cinta
Kasih sebagai Landasan Kemajuan Batin
Cinta
kasih adalah sifat luhur yang pertama dari empat macam sifat luhur (brahma
vihāra). Sifat luhur yang
lain yaitu kasih sayang, rasa simpati, dan keseimbangan batin. Keempat sifat
luhur itu sering disebut pula sebagai keadaan tak terbatas (apamaññā).
Pelaksanaan brahma vihāra dapat membuat seseorang menjadi mulia atau
suci dalam kehidupan sekarang. Pengembangan cinta kasih dapat membawa kehidupan
suci bagi seseorang. Cinta kasih merupakan sifat luhur dalam Agama Buddha yang
dapat menghaluskan hati seseorang, atau rasa persahabatan sejati (Wowor, 2005:
76). Cinta kasih dapat menghaluskan hati seseorang berarti dalam kehidupannya
seseorang tidak mungkin melakukan perbuatan yang dapat menyakiti makhluk lain.
Seseorang akan terbebas dari rasa benci dan permusuhan.
Cinta
kasih sangat diperlukan sebagai dasar mengembangkan kesucian seseorang untuk
menciptakan masyarakat yang damai, maju, dan sehat (Walshe, 1996: 246). Prinsip dari cinta kasih adalah mengharapkan
makhluk lain bahagia, bebas dari penderitaan, kebencian, maka tercapai pikiran
yang bebas dari kebencian. Pikiran yang terbebas dari kebencian berarti akan
dengan mudah dapat mengembangkan pikirannya, karena kebencian adalah salah satu
akar kejahatan yang dapat membawa seseorang menuju penderitaan. Seseorang yang
mengembangkan cinta kasih berarti melenyapkan akar kejahatan, maka kebahagiaan
akan terwujud.
Cinta
kasih merupakan salah satu objek meditasi. Seseorang dapat mengembangkan cinta
kasih melalui meditasi cinta kasih. Seseorang melaksanakan meditasi cinta kasih
harus mengembangkan cinta kasih kepada dirinya sendiri. Setelah seseorang
mengembangkan cinta kasih kepada diri sendiri maka selanjutnya cinta kasih
dikembangkan kepada orang-orang yang dihormati dan dihargai, orang-orang yang
sangat dicintai, orang yang netral, dan kepada musuh (Ñānamoli, 1991: 290). Pada
akhirnya cinta kasih dikembangkan kepada semua makhluk tanpa batas. Setelah
batin seseorang terpusat kepada objek pengembangan cinta kasih maka batin akan
menjadi tenang. Batin atau pikiran seseorang akan bebas dari kebencian. Terbebas
dari kebencian berarti seseorang telah mengalami kemajuan batin. Aţţhakanāgara
Sutta, Majjhima Nikāya (Horner, 2002: 16) menyebutkan bahwa:
...
a monk dwell having suffused the first quarter with a mind of friendliness;
likewise the second, likewise third, likewise the fourth; just s o above,
below, across; he dwells having suffused the whole world everywhere, in every
way, with a mind of friendliness that is for-reaching. He reflects on this and
comprehends: ‘This freedom of mind that is friendliness, is also effected an
thought out. But whatever is effected and thought out, that is impermanent, it
is liable to stopping. Firm in this … the attains the matchless security from
the bonds, not (yet) attained.
Kebebasan pikiran cinta kasih diakibatkan karena
pertimbangan yang sangat kuat. Tetapi, kebebasan pikiran cinta kasih yang telah
dicapai adalah tidak kekal. Kebebasan pikiran cinta kasih dapat mencapai
pembebasan atau paling tidak mencapai tingkat kesucian Anāgāmi. Anāgāmi adalah
tingkat kesucian di mana seseorang telah mematahkan lima belenggu batin, yaitu sakkāyadiţţhi
(pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa yang kekal), vicikicchā (keragu-raguan
terhadap Buddha dan ajaran-Nya),
silabataparāmāsa (kepercayaan pada upacara atau ritual dapat membebaskan
manusia dari penderitaan), kāmarāga (nafsu indera), dan paţigha (keinginan
tidak baik) (Davids, 1992: 31). Seseorang mencapai tingkat kesucian Anāgāmi
tidak akan terlahir kembali di alam manusia. Pengembangan
cinta kasih akan membebaskan pikiran dari kebencian dan rasa permusuhan.
Kebencian adalah salah satu akar kejahatan yang dapat membawa seseorang ke
penderitaan. Apabila seseorang mengembangkan cinta kasih telah menjauhkan diri
dari penderitaan, dan kebahagiaan akan tercapai. Kebahagiaan yang dicapai tidak
hanya kebahagiaan pada kehidupan saat ini tetapi
kebahagiaan di kehidupan yang akan datang. Seperti yang disebutkan dalam
manfaat mengembangkan cinta kasih (Woodward, 2003: 219), meskipun seseorang
belum mencapai Arahat tetapi dapat mencapai
atau terlahir di alam Brahmā. Terlahir
di alam Brahmā adalah suatu bukti bahwa
kebahagiaan dari pengembangan cinta kasih tidak hanya terwujud pada kehidupan
saat ini tetapi di kehidupan yang akan datang.
D. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai “Posisi Ajaran
Cinta Kasih dalam Agama Buddha”, dapat disimpulkan, bahwa: Cinta
kasih merupakan keinginan akan kebahagiaan semua makhluk tanpa kecuali, yang sering
dikatakan sebagai niat suci untuk mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan
makhluk lain. Cinta kasih merupakan sebuah kekuatan yang tidak hanya membawa
kebahagiaan kepada para pelakunya, tetapi juga untuk para makhluk di
sekitarnya. Hal tersebut dapat terjadi karena pengembangan cinta kasih
ditujukan kepada semua makhluk tanpa kecuali. Sedangkan objek pengembangan
cinta kasih yaitu: pertama kali cinta kasih dipancarkan kepada diri sendiri,
setelah itu cinta kasih dipancarkan kepada orang-orang yang dihargai dan
dicintai, orang netral, dan musuh. Pengembangan cinta kasih pertama kali harus
ditujukan kepada diri sendiri, karena untuk dapat mengembangkan cinta kasih
kepada orang lain atau makhluk lain harus memiliki cinta kasih kepada diri
sendiri terlebih dahulu.
Ajaran
cinta kasih memiliki posisi yang amat penting dalam agama Buddha. Cinta kasih
apabila dikembangkan dengan baik, maka akan menciptakan keharmonisan di alam
semesta, yaitu keharmonisan antara manusia dengan binatang, binatang dengan
tumbuhan, tumbuhan dengan manusia, atau bahkan keharmonisan antara makhluk satu
dengan makhluk yang lain, misalnya makhluk yang tidak tampak (setan, dewa). Hal
tersebut dikarenakan cinta kasih dipancarkan tidak hanya kepada sesama manusia
tetapi kepada semua makhluk yang ada di alam semesta. Semua penghuni alam
semesta saling membutuhkan dalam menjalani kehidupannya, sehingga cinta kasih
sangat diperlukan. Selain sebagai landasan keharmonisan, cinta kasih dapat
berfungsi sebagai landasan kemajuan batin. Cinta kasih merupakan salah satu
objek meditasi. Melalui meditasi seseorang dapat membebaskan kebencian dalam
batin, sedangkan kebencian adalah salah satu akar dari kejahatan. Jika
seseorang membebaskan kebencian dari batinnya, maka batinnya telah mengalami
kemajuan. Dengan adanya kebebasan pikiran cinta kasih dapat membawa seseorang
mencapai tingkat kesucian Anāgāmi dan merupakan latihan tahap awal yang
dilaksanakan manusia untuk mencapai kebahagiaan tertinggi (nibbāna).
SUMBER:
Bogoda, Robert. Tanpa Tahun. Hidup Sederhana Hidup
Bahagia. Terjemahan oleh Ida Dhammashanti. 2003. Jakarta: Yayasan Penerbit
Karaniya.
Davids,
T.W Rhys. (Ed). 1972. Pāli-English Dictionary. London: The Pali Text
Society.
Davids,
Rhys C.A.F. 1915. Encyclopedia of Religion and Ethics. Edinburg: T.
& T. Clancle.
Davids,
Rhys dan William Stede. 1992. The Pali Text Society Pāli-English Dictionary.
Oxford: The Pali Text Society.
Dhammananda.
Tanpa Tahun. Keyakinan Umat Buddha. Tejemahan oleh Ida Kurniati. 2004. Jakarta: Yayasan Penergit Karaniya.
Dhammasugiri. 2004. Konsep Cinta dalam
Agama Buddha. Majalah Dhammacakka, hlm. 19-24.
Hare,
E.M. (Ed). 2001. The Book of the Gradual Saying, vol III (Ańguttara Nikāya).
Oxford: The Pali Text Society.
__________.
2001. The Book of the Gradual Saying, vol IV (Ańguttara Nikāya). Oxford:
The Pali Text Society.
__________.
2001. The Book of The Discipline, vol. IV (Suttavibhańga). Oxford: The
Pali Text Society.
Janaka. Tanpa Tahun. Mettā Bhavana. Terjemahan
oleh Samuel B. Harsojo. 2003.
Tanpa Kota Terbit: Tanpa Penerbit.
Norman,
K.R. 2001. The Group of Discourses (Sutta-Nipāta). Oxford: The Pali Text
Society.
__________.
2004. The Word of the Doctrine (Dhammapada). Oxford: The Pali Text
Society.
Ñanasamvara.
2001. Sīla-Kemoralan. Dhammasakaccha, hlm. 20-36.
Ñānamoli.
(Ed.). 1991. The Path of Purification (Visuddhimagga). Sri Lanka:
Buddhist Publication Society.
Sivaraksa, Sulak. 1992. Benih
Perdamaian. Terjemahan oleh Ken Ken dkk. 2001. Jakarta: HIKMAHBUDHI.
Walshe,
M. O’C. 1996. Buddhism and Sex. Kandy: The Wheel Publication No. 225.
Woodward,
F.L. (Ed.). 2003. The Book of Gradual Saying, vol. V (Ańguttara Nikāya). Oxford:
The Pali Text Society.
Wowor,
Cornelis. 2005. Pandangan Sosial
Agama Buddha. Semarang: Vihara Tanah Putih.