Senin, 22 Juni 2020


Agama Buddha Sebagai Semangat Hidup
Oleh: Haris, S.Ag


Dalam hidup ini mungkin kita sering berpikir? Mengapa di dunia ini ada banyak perbedaan, seperti: ada orang kaya dan miskin, sehat-sakit-sakitan, umur panjang-umur pendek, cantik-jelek, pandai-bodoh, dan lain sebaginya. Perasaan kita kadang lebih hancur bila kita mengingat penderitaan seakan lebih sering terjadi pada kita dibandingkan pada orang lain. Kita kecewa. Kita kemudian bertanya dalam hati, apakah kesalahan kita? Apakah benar ini cobaan hidup? Siapakah yang mencoba? Kita terus berusaha mencari 'kambing hitam' atas kesulitan yang dialami. Namun, sebagai seorang umat Buddha, kita tidak diajar oleh Sang Guru Agung untuk menyalahkan pihak lain atas kesulitan kita. Semua penderitaan dan masalah kehidupan pasti ada penyebabnya. Setiap orang memiliki penyebabnya masing-masing. Oleh karena itu, sungguh tidak tepat bila dalam diri kita masih juga muncul kejengkelan, iri hati terhadap kebahagiaan orang lain. Buddha Dhamma telah sempurna dibabarkan. Buddha Dhamma memberikan jalan untuk memperoleh kebahagiaan. Buddha Dhamma juga menguraikan cara untuk mempertahankan kebahagiaan yang kita alami.

Sang Buddha sejak hampir tiga ribu tahun yang lalu telah mengerti dan menyadari bahwa kehidupan ini memang selalu berisikan perbedaan, saling bertolak belakang. Perbedaan dalam dunia ini malah sering diibaratkan sebagai saudara kembar. Artinya, kita tidak mungkin hanya menerima satu sisi dan menolak sisi yang lainnya. Kita hanya mau menerima sisi kebahagiaan saja dan menolak sisi yang berisikan penderitaan. Bila diamati, kondisi bahwa segala sesuatu selalu berubah ini adalah merupakan hakekat kehidupan. Perubahan itu sendiri adalah netral, tidak menyedihkan maupun menggembirakan. Munculnya perasaan suka maupun duka dalam menghadapi perubahan itu adalah hasil pikiran kita sendiri. Oleh karena itu, tidak mungkin kita mampu mengubah dunia. Tidak mungkin kita mengubah kenyataan. Hal yang mampu kita lakukan adalah mengubah cara berpikir kita sendiri. Siap menerima kenyataan sebagai kenyataan, bukan seperti yang kita harapkan menjadi kenyataan. Cara berpikir yang salahlah yang membuat kita menderita.

Apabila kita sudah mengerti adanya kekurangan dan kelebihan pada setiap mahluk, maka kita hendaknya mulai merenungkan penyebab perbedaan ini muncul. Perbedaan ini muncul karena adanya Hukum Kamma atau hukum perbuatan. Dalam Samyutta Nikaya telah disebutkan bahwa sesuai dengan benih yang ditanam demikian pula buah yang akan dipetik, pembuat kebajkan akan memperoleh kebahagiaan, sebaliknya pembuat kejahatan akan mendapatkan penderitaan. Jadi, orang yang memiliki penampilan menarik adalah karena buah kebajikannya dari kehidupan lampaunya, Karena kesulitan dan permasalahan adalah bagian dari buah kamma buruk kita, maka untuk mengatasinya, kita dapat menambah kamma baik. Penambahan kamma baik dapat dilakukan melalui perbuatan badan, ucapan dan juga pikiran yang baik. Semakin banyak kamma baik kita lakukan, semakin besar kondisi hidup kita untuk mencapai kebahagiaan. Ibarat pada segelas air dimasukkan satu sendok garam, lalu diaduk, terasa sangat asin. Untuk mengurangi rasa asin itu, kita dapat menambah air sedikit demi sedikit. Apabila air sudah sebanyak lima atau sepuluh gelas maka satu sendok garam yang ada di dalam air itu sudah tidak terasa lagi asinnya. 

Selanjutnya, bagaimana cara mencapai kebahagiaan? Dalam Agama Buddha, terdapat tiga perbuatan baik yang dapat digunakan untuk memperbaiki tingkat kehidupan kita. Ketiga perbuatan itu adalah kerelaan (dana), kemoralan (sila) dan konsentrasi (samadhi). Ketiga jalan Ajaran Sang Buddha ini jika dilaksanakan terus dalam kehidupan akan membuat hidup kita lebih baik dan bahagia di dunia ini. Bahkan, di kehidupan yang akan datang pun dapat terlahir di salah satu dari dua puluh enam alam surga. Kerelaan digunakan untuk menyesuaikan harapan kita agar sama dengan kenyataan. Dapat menerima kenyataan. Kemoralan ditujukan agar kita dapat memperbaiki kualitas diri dan sistem kerja kita agar harapan dapat tercapai. Samadhi dimanfaatkan untuk menentukan apakah keinginan ataukah sistem kerja yang harus kita perbaiki. Atau menentukan tindakan yang tepat untuk menghadapi masalah.

Segala suka dan duka sesungguhnya adalah karena buah perbuatan kita sendiri. Karena itu bila kita sedang berbahagia tambahlah terus kebajikan agar dapat terus mempertahankan kebahagiaan yang sedang kita rasakan. Bila sedang mengalami penderitaan, maka jangan bosan-bosan untuk menambah kebajikan agar kamma buruk yang kita alami segera berlalu. Dengan memahami yang demikian itu maka kita sebagai umat Buddha akan selalu bersemangat dalam menghadapi kehidupan ini sehingga kebahagiaan selalu ada pada diri kita.

Kerelaan (dana) adalah awal kebajikan. Kerelaan dapat berupa materi dan juga bukan materi. Pokok pemikiran latihan kerelaan ini adalah agar orang dapat memilki pola pikir: Semoga semua mahluk berbahagia. Sebab, dengan pemikiran awal ini saja, kebencian, iri hati maupun kecemburuan akibat perbedaan dalam kehidupan akan dapat dilenyapkan. Kita bahkan ikut berbahagia atas kebahagiaan mahluk lain. Kita bersimpati dengan kebahagiaan orang lain. Kita menjadi orang yang mempunyai tingkat toleransi yang tinggi terhadap lingkungan.

Kemoralan berintikan kedisiplinan. Latihan ini diawali dengan pelaksanaan Pancasila Buddhis. Isi Pancasila Buddhis adalah latihan pengendalian diri untuk tidak melakukan pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, berbohong dan mabuk-mabukan. Inti latihan ini adalah agar kita dapat meningkatkan kualitas diri kita. Meningkatkan disiplin diri. Menumbuhkembangkan disiplin diri diperlukan agar kita mampu mencapai harapan kita.

Konsentrasi atau latihan meditasi ditujukan untuk mencapai ketenangan pikiran. Meditasi tidak akan menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Meditasi adalah sarana untuk menenangkan pikiran agar dapat menyelesaikan masalah. Dengan memiliki ketenangan pikiran, kita dapat menentukan kapankah kita harus menurunkan harapan kita; atau kapankah kita harus meningkatkan sistem kerja kita. Ataukah, kapan saatnya untuk melakukan keduanya sekaligus, menurunkan harapan dan meningkatkan kinerja. Pemilihan ini membutuhkan ketenangan dan keseimbangan batin. Dengan memiliki kemampuan memberikan pilihan yang tepat, kita akan dapat meningkatkan kebahagiaan dalam hidup.


KESIMPULAN
  1. Semua mahluk memang selalu memiliki kelebihan dan kekurangan.
  2. Perbedaan yang ada pada mahluk hidup adalah karena setiap mahluk memiliki kammanya sendiri-sendiri.
  3. Kita dapat memperbaiki kehidupan kita dengan melaksanakan kerelaan, kemoralan dan samadhi setiap hari.



PERBUATAN MENENTUKAN KELAHIRAN
Oleh: Haris, S.Ag

Anekajāti saṁsāraṁ Sandhāvissaṁ anibbisaṁ Gahakārakaṁ gavesanto Dukkhā jāti punappunaṁ
Tumimbal lahir merupakan lingkaran penderitaan yang tiada akhirnya. Berkelana tanpa menemukan pendiri “rumah” ini, kelahiran yang berulang-ulang adalah penderitaan, (Dhammapada, Jara Vagga: 153)

Pendahuluan

Dalam ajaran Buddha, umat Buddha mengenal pokok-pokok ajaran Buddha, salah satu pokok ajaran dalam Buddhisme adalah keyakinan pada Hukum Kamma dan Punnabhava yaitu hukum perbuatan dan kelahiran kembali. Hukum ini saling berkaitan dalam bekerjanya. Menurut Digha Nikaya Mahanidana Sutta (khotbah panjang tentang asal mula) yang saling bergantungan, salah satu kelahiran mengkondisikan usia tua dan kematian, jika tidak ada kelahiran maka tidak ada kondisi  bagi usia tua  dan kematian, (Walshe, 2009: 191). Semua makhluk yang hidup di dunia tidak lepas dari kelahiran dan kematian. Kematian tidak berarti memasuki kehidupan abadi, tetapi sebaliknya, merupakan pintu gerbang menuju tumimbal lahir baru yang akan diikuti oleh pertumbuhan, pelapukan, dan kematian. Kematian dalam pandangan agama Buddha tidak dianggap sebagai akhir dari kehidupan. Selama lobha (keserakahan), dosa (kebencian), serta moha (kegelapan atau kebodohan batin) belum dilenyapkan, kematian adalah awal dari kelahiran.

Pembahasan
            Setelah mengetahui bahwa kehidupan ini hanyalah siklus kelahiran, berlangsung dan diakhiri dengan kematian, serta kelahiran kembali maka sebagai umat Buddha akan timbul pertanyaan bagaimana seharusnya kita bertindak melalui perbuatan dalam kehidupan sehari-hari?
Kalau kita melihat sekilas dalam beberapa sutta tentang reverensi perbuatan yang menghasilkan buah kebahagiaan atau sebaliknya beberapa perbuatan yang menghasilkan penderitaan maka kita sebagai umat Buddha dapat mencontoh beberapa kutipan yang ada dalam Kitab Suci agama Buddha. Di dalam Dhammapada Athakattha syair 16 tentang kisah upasaka Dhammika yang berbudi luhur dan sangat gemar memberikan dana. Selain sering memberikan dana makanan serta kebutuhan lain kepada para bhikkhu secara tetap, juga sering berdana pada waktu-waktu yang istimewa. Pada kenyataannya, ia merupakan pemimpin dari lima ratus umat Buddha yang berbudi luhur dan tinggal di dekat Savatthi.
Dhammika mempunyai tujuh orang putra dan tujuh orang putri. Sama seperti ayahnya, mereka semuanya berbudi dan tekun berdana. Ketika Dhammika jatuh sakit, dan berbaring di tempat tidurnya ia membuat permohonan kepada Sangha untuk datang kepadanya, untuk membacakan paritta-paritta suci di samping pembaringannya.
Ketika para bhikkhu membacakan "Mahasatipatthana Sutta", enam kereta berkuda yang penuh hiasan dari enam alam surga datang mengundangnya pergi ke masing-masing alam. Dhammika berkata kepada mereka untuk menunggu sebentar, takut kalau mengganggu pembacaan sutta. Bhikkhu-bhikkhu itu berpikir bahwa mereka disuruh untuk berhenti, maka mereka berhenti dan kemudian meninggalkan tempat itu.
Sesaat kemudian, Dhammika memberitahu anak-anaknya tentang enam kereta kuda yang penuh hiasan sedang menunggunya. Ia memutuskan untuk memilih kereta kuda dari surga Tusita dan menyuruh salah satu dari anaknya memasukkan karangan bunga pada kereta kuda tersebut. Kemudian ia meninggal dunia, dan terlahir kembali di surga Tusita.
Demikian juga Kisah Upasaka Anatapindika yang semasa hidupnya selalu melakukan kebajikan menyokong Sang Buddha dan anggota Sangha dengan penuh keiklasan, maka setelah meninggal beliau terlahir di alam Surga Tusita (Samyutta Nikaya I Devaputtasamyutta [56]).
Tentunya kisah-kisah perbuatan baik yang membuahkan dengan kebahagiaan tidak hanya sebatas dua kisah saja, namun masih banyak kisah-kisah yang lainnya.
Namun sebaliknya perbuatan jahat akan menjerumuskan ke alam penderitaan kepada pelakunya dapat kita lihat juga, ada beberapa kisah yang terdapat di berbagai sutta akan bahas, diantaranya adalah kisah Cunda si penjagal Babi, yang terdapat dalam Dhammapada Athakattha syair 15 yaitu: “Pada suatu dusun tidak jauh dari Vihara Veluvana, hidup seorang penjagal babi yang sangat kejam dan keras hati, bernama Cunda. Ia adalah penjagal babi yang sudah berusia lebih dari lima puluh tahun; selama hidupnya dia belum pernah melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat. Sebelum dia meninggal, dia sakit parah dan mengalami penderitaan yang berat. Dia mendengkur, berteriak-teriak dan seperti babi selama tujuh hari. Sebelum meninggal dunia, dia mengalami penderitaan seperti kalau dia berada di neraka (niraya). Pada hari ketujuh, penjagal babi itu meninggal dunia, dan dilahirkan kembali di Neraka Avici (Avici Niraya).
Beberapa bhikkhu yang dalam beberapa hari berturut-turut mendengar teriakan-teriakan dan kegaduhan dari rumah Cunda berpikir, pastilah Cunda sedang sibuk membunuhi lebih banyak babi. Mereka berpendapat bahwa Cunda adalah seorang yang sangat kejam dan keji. Yang tidak mempunyai cinta kasih dan belas kasihan sedikitpun.
Mendengar pergunjingan para bhikkhu tadi, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, Cunda tidak sedang membunuhi lebih banyak babi. Perbuatan jahatnya yang lampau telah berbuah. Karena rasa sakit yang sangat akibat penyakit yang dideritanya, ia melakukan hal-hal yang tidak normal. Sekarang ia telah meninggal dan terlahir di alam neraka. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan perbuatan jahat akan selalu menderita akibat dari perbuatan jahat yang dilakukannya; dia menderita dalam dunia ini sama seperti pada alam berikutnya".
Dalam Khudaka Nikaya Kotbah di luar dinding disitu diceritakan bahwa semasa kehidupan 90 kalpa yang lalu dimasa kehidupan Buddha Kassapa, leluhur Raja Bimbisara juga melakukan perbuatan buruk dengan menghalangi seseorang untuk berdana pada Buddha, maka dengan perbuatan buruknya tersebut maka leluhur Raja Bimbisara terlahir 90 kalpa di alam menderita.
Bahkan dalam Digha Nikaya Raja Payasi yang tidak mempercayai adanya kelahiran kembali dan tidak menyakini hasil dari perbuatan baik maka Raja Payasi tidak pernah berdana atupun melayani dana dengan tangannya sendiri maka akibat dari perbuatan buruknya maka ia terlahir di alam Dewa yang penuh dengan kekosongan.

KESIMPULAN
Berdasarkan contoh-contoh di atas kita sebagai umat Buddha yang meyakini tentang Hukum Kamma dan Kelahiran kembali maka segala bentuk perbuatan yang baik ataupun yang buruk akan mengkondisikan berbuah pada si pelakunya. Seperti khotbah Buddha dalam (Samyutta Nikaya 227). “Sebagaimana benih yang ditabur maka demikian buah yang akan dipetik, pembuat kebajikan akan memetik kebajikan dan pembuat keburukan akan memetik buah dari perbuatan buruknya”.





KAPAN SAMSARA BERAKHIR?
Oleh: Haris, S.Ag

PENDAHULUAN
Sebagai manusia sudah barang tentu kita akan mengalami berbagai macam penderitaan. Penderitaan itu akan selalu ada pada diri setiap manusia karena penderitaan itu tidak memandang strata sosial, semua orang akan mengalami. Berbagai macam penderitaan yang dialami oleh semua manusia yaitu berpisah dengan orang yang dicintai, bertemu dengan orang yang tidak disukai, kehilangan benda-benda yang disukai dan lain sebagainya.Itu semua merupakan bentuk penderitaan atau samsara dalam kehidupan ini.
Samsara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan bentuk tidak baku dari sengsara. Sedangkan sengsara berarti kesulitan atau kesusahan hidup yang berupa penderitaan dalam kehidupan. Bahkan dalam Samyutta Nikaya 4 hal 1285 Sang Buddha Menjelaskan: “Para bhikkhu samsara ini adalah tanpa awal yang bisa ditemukan. Tidak terlihat titik pertama tentang para makhluk yang terus berkelana dan mengembara karena dihalangi oleh kebodohan batin dan dibelenggu oleh nafsu keinginan. Andaikan para bhikkhu, seseorang memotong rumput, ranting, cabang, dan dedaunan apa pun yang ada di Jambudipa ini dan mengumpulkannya menjadi satu tumpukan. Setelah melakukan demikian, dia meletakannya sambil mengatakan (satu-per-satu):Ini ibuku, ini ibunya ibuku.’ Rentetan ibu-ibu dan nenek-nenek itu belum berakhir, namun rumput, kayu, cabang dan dedaunan di Jambudipa ini sudah terpakai dan habis. Mengapa demikian para bhikkhu, samsara ini adalah tanpa awal yang bisa ditemukan”.
Para bhikkhu, seandainya seseorang mau memperkecil bumi yang besar ini menjadi bola-bola tanah liat seukuran biji-biji jujube dan meletakkannya, sambil mengatakan (satu-per-satu):Ini ayahku, ini ayahnya ayahku.’ Rentetan ayah-ayah dan kakek-kakek itu belum berakhir, namun bumi yang besar ini sudah terpakai dan habis. Mengapa demikian? Karena para bhikkhu, samsara ini adalah tanpa awal yang bisa ditemukan”.
Para bhikkhu, kalian telah menangis dan meratap karena bertemu dengan yang di benci dan berpisah dengan yang dicintai, seperti kehilangan seorang ibu kalian telah meneteskan air mata kesedihan telah melebihi empat samudra besar yang ada di bumi ini.

APA PENYEBAB SAMSARA?
            Sebagai manusia, kita memiliki musuh laten yang sangat berbahaya yaitu ketidaktahuan kita akan hakikat kehidupan. Karena batin kita dijajah oleh ketiga hal yang bersekutu sangat kuat. Mereka adalah Keserakahan (lobha), Kebencian (dosa), dan kegelapan batin (moha). Tiga hal ini merupakan racun atau sering disebut sebagai tiga akar kejahatan.
            Keserakahan membuat seseorang menginginkan lebih banyak kenikmatan yang melampaui kebutuhannya, keserakahan dapat membuat seseorang menjadi tidak peduli pada penderitaan pihak lain. Kebanyakan orang serakah atau tamak menganut paham bahwa kebahagiaan adalah mendapatkan apa yang diinginkan, padahal kebahagiaan adalah merasa berkecukupan terhadap apa yang telah didapat.
            Musuh kita selanjutnya adalah kebencian. Kebencian juga tidak kalah jahat dari keserakahan. Kebencian menyebabkan orang-orang saling memusuhi dan menyakiti. Perasaan dendam dan iri hati juga salah satu akibat dari kebencian. Menyimpan kebencian terhadap seseorang adalah perbuatan yang tidak bijaksana. Mengapa demikian? karena orang-orang yang kita benci itu, sesungguhnya bukan orang lain. Kita dan mereka kemungkinan besar pernah menjadi saudara, anak, atau orang tua kita dalam kehidupan lampau, atau mungkin akan menjadi saudara, anak, dan orang tua kita dalam kehidupan mendatang. Dengan berpikir demikian maka kebencian akan sedikit terkurangi.
            Racun yang ketiga adalah kegelapan batin. Kegelapan batin bukan berarti bodoh karena buta intelektual atau tidak memahami ilmu pengetahuan dan teknologi. Bodoh yang dimaksud di sini mengenai kebodohan batin, yakni tidak bisa membedakan baik dan buruk, bermanfaat dan tidak bermanfaat. Mengapa bisa demikian karena tidak lain faktor kebijaksanaan kita tidak kuat, sehingga dari Panca Indria yang kita miliki akan memunculkan samsara yang baru. Sebagai contoh Bila mata melihat hal yang tidak menyenangkan maka secara spontan kalau kebijaksanaan kita tidak kuat maka kita akan muncul kebencian, demikian kita jika telinga kita mendengar hal-hal yang tidak menyenangkan, hal-hal yang tidak baik maka kita akan langsung merespon tidak baik sehingga kebencian akan muncul, demikian seterusnya yang terjadi pada Panca Indria kita.

BAGAIMANA CARA TERLEPAS DARI SAMSARA?
            Tiga racun serta kurangnya pengendalian diri pada Panca Indria akan menyebabkan kita berada dalam kegelapan batin. Maka dari itu, kita membutuhkan pelita penerang. Pelita penerang itu adalah Dhamma. Agar memberi makna dan manfaat bagi kita. Namun terkadang untuk terlepas dari samsara terlampau sulit karena kita kurang memiliki kewaspasdaan. Maka Sang Buddha Menjelaskan Empat Tipe Manusia yang ada di dunia ini, yaitu:
1. Dari gelap menuju gelap
2. Dari Gelap menuju Terang
3. Dari Terang menuju Gelap
4. Dari Terang Menuju Terang
Sang buddha telah menunjukkan Dhamma sebagai pelita, namun tidak semua orang mampu mencerna Dhamma. Dhamma yang dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mengurangi keberadaan tiga racun dalam diri kita. Sang Buddha menjelaskan Empat Kebenaran Mulia, yang di dalamnya terdapat Jalan Mulia Berunsur Delapan yang merupakan cara kita untuk terbebas dari samsara.

KAPAN SAMSARA BERAKHIR?
            Sebagai umat Buddha yang telah mempraktikkan Dhammma dengan benar dan bersungguh-sungguh maka sebagai tahapan keberhasilan ia dalam mempraktikkan Dhamma maka orang itu akan mencapai tingkat Sotapanna. Apa itu Sotapanna? Sotapanna adalah makhluk suci tingkat pertama yang telah melenyapkan tiga kekotoran batin yaitu Sakayaditthi, Vicikiccha dan Silabataparamasa dan akan terlahir sebanyak tujuh kali lagi. Dalam hal ini tentu saja seorang Sotapanna harus mampu mempraktikkan Jalan Mulia Berunsur Delapan yang pertama yaitu memiliki Pandangan benar pada kehidupan.
            Apa yang dimaksud dengan memiliki pandangan benar? Tentu saja, bahwa kita harus memiliki pemahaman yang benar terhadap Hukum Karma, Kelahiran Kembali, serta hidup ini dicengkram oleh Anicca, Dukkha dan Anatta.
            Selanjutnya sebagai seorang sotapanna maka ia tidak akan memiliki Vicikiccha (keragu-raguan pada Tiratana) dengan berpikir bahwa apa benar Buddha telah tercerahkan, apa benar buddha merupakan guru para dewa dan manusia dll…hal-hal yang demikian ini tentu saja sebagai seporang sotapanna tidak mungkin memiliki pikiran yang demikian, karena sotapanna telah terbebaskan dari keragu-raguan.
            Selanjutnya sebagai seorang sotapanna maka ia tidak akan memiliki Silabataparamasa yaitu kepercayaan tahayul pada upacara sembahyang. Sebagai contoh kalau sembahyang leluhur itu harus pakai ini dan itu, misal jika tidak memakai daun sirih maka sembahyang kita tidak sah…misal jika sembahyang kita tidak pakai telur tidak sah, contoh jika sembahyang kita tidak pakai dupa tidak sah dll. Hal tersebut artinya seseorang masih terbelenggu pada Silabataparamassa yaitu kepercayaan tahayul pada upacara sembahyang. Atau sembahyang harus korbankan 10 ekor kambing atau sapi  ini juga termasuk silabataparamassa. Namun yang terpenting dari sembahyang leluhur atau pattidana adalah kita telah memiliki jasa kebajikan. Dari jasa kebajikan itu maka kita limpahkan kepada leluhur-leluhur kita yang telah meninggal. Dari sini terlihat bahwa yang namanya makna sembahyang leluhur atau pattidana bukan sarana sembahyangnya yang kita utamakan namun lebih pada jasa kebajikan yang kita miliki.

Mengapa Sotapanna ini jalan yang aman dari samsara?
Karena Sotapanna dalam Ratana Sutta telah dijelaskan bahwa jika makhluk telah mencapai Sotapanna maka kelahiran di 4 alam menyedihkan telah tertutup. Apa 4 alam menyedihkan itu: Alam Neraka, Alam Binatang, Alam Hantu, Alam Raksasa. Hal tersebut telah Budda lakukan pada Ibunya yaitu Sang Buddha berusaha memberikan Dhamma pada Ratu Mahamaya yang saat itu telah terlahir di alam Surga Tusita, Beliau mendatangi ibunya di surga Tavatimsa dan membabarkan Abhidhamma sehingga Ratu Mahamaya dapat mencapai Sotapanna di alam itu dan 16 juta dewa saat itu mencapai pembebasan.

Agar samsara ini bisa diminimalisir maka usahakan anak-anak kita tidak pundah agama. Mengapa anak kita tidak pindah agama Samsara bisa dimilimalisir? Karena kita ini belum Sotapanna maka kita suatu saat masih bisa melakukan perbuatan buruk dan dari perbuatan buruk itu dapat mengakibatkan kita terlahir di salah satu dari empat alam tersebut. Jika kita terahir di salah satu dari empat alam tersebut, misal kita terlahir di alam hantu, karena anak-anak kita telah pindah agama lalu anak kita tak mengenal yang namanya sembayang leluhur, anak kita tak mengenal namanya Pattidana lalu siapa yang akan menolong kita dari alam hantu? Karena jika seseorang terlahir di alam hantu Paradatu Pajivika peta yang bisa menolong dari alam hantu tersebut adalah leluhur kita, anak kita dan tidak mungkin orang lain.



Pandangan remaja terhadap agama Buddha
                      Oleh: Haris, S.Ag

"Yo sāsanaṃ arahataṃ ariyānaṃ dhammajīvinaṃ
paṭikkosati dummedho diṭṭhiṃ nissāya pāpikaṃ
phalāni kaṭṭhakasseva attaghaññāya phallati."

Karena pandangan yang salah orang bodoh menghina
ajaran orang mulia, orang suci dan orang bijak.
Ia akan menerima akibatnya yang buruk,
seperti rumput kastha yang berbuah
hanya untuk menghancurkan dirinya sendiri. (Dhammapada ;Attavagga;164)


Pendahuluan
            Dunia ini adalah tempat dimana setiap manusia untuk saling berinteraksi, tolong menolong dan berbuat kebajikan. Apapun agamanya karna setiap agama yang ada pasti selalu mengajarkan kebaikan baik itu orang tua maupun anak-anak. Dalam agama Buddha sendiri juga mengajarkan hal yang sama dimana tertera dalam dhammapada XIV;183 jangan melaukan kejahatan , perbanyak berbuat kebaikan, sucikan hati dan pikiran inilah ajaran dari para Buddha. Karena itulah setiap manusia harus memperbanyak perbuatan kebaikan, dan hal tersebut tak lepas dari sosok remaja yang juga temasuk manusia yang ada dimuka dunia ini.
Remaja merupakan proses pengalihan dari anak-anak untuk menuju dewasa, dalam pertumbuhan dan perkembangannya,  remaja juga memiliki agamanya masing-masing. Dan diusianya inilah saat yang tepat untuk mengenal agama mereka, juga saat itulah mereka akan menentukan masa depan mereka nantinya.
Disaat pertumbuhan dan perkembangan ini dapat dikatakan mereka berada di kondisi yang rawan, masih labil ( mudah berubah / tidak konsisten ) baik dalam hal apapun termasuklah agama. Karena remaja memiliki pikiran yang masih tidak konsisten dan mudah terpengaruh pada hal-hal eksternal menyebabkan mereka terpengaruh dengan agama-agama lainnya. Pikiran itu mudah goyah dan tidak tetap, sulit dijaga dan sulit dikuasai, namun orang bijaksana akan meluruskannya, bagaikan seorang pembuat panah meluruskan anak panah (Dhammapada;Cittavagga;33) sebab itulah menyebabkan para remaja harus berpegang kuat dan teguh dalam agama jika tidak mereka mungkin akan terjerumus kearah yag tidak baik.
Dengan perkembagan dunia teknologi yang sangat cepat membuat remaja kadang ikut terpengaruh dengan perubahan ini, seperti mengikuti gaya hidup orang barat, dan juga mengikuti tren fashion yang kurang sopan sehingga dengan sibuknya mengikuti perubahan itu, para remaja kadang melupakan agamanya.

Bagaimanakah pandangan remaja terhadap agama  buddha?
1.      Pandangan remaja Buddha
Setiap remaja memiliki pandangan yang berbada terhadap agamanya, ada yang memadang agama Buddha dari luar dan tak mengenal agamanya lebih dalam lagi. Mereka berpendapat bahwa setiap agama sama dan hanya dibedakan dengan cara beribadahnya. Sebagian agama Buddha menganggap agama buddha sebagai label untuk mengisi kartu pelajar mereka atau KTP mereka namun ada juga yang memandang agama Buddha sebagai lahan yang subur dan kuat untuk menabur benih-benih kebajikan mereka. Segala itu memiliki dua sisi yang berbeda, positive dan negative semua ada dalam pandangan kita.
Bagi remaja yang tidak taat pada agama, agama Buddha hanya dipandang sebagai sebuah batu loncatan untuk menjawab pertanyaan dari teman mereka ketika ditanyai agamanya. Padahal mereka sendiri belum tentu mengenal agama Buddha dengan baik, bahkan ada yang tidak mengenal Buddha itu sendiri. Mereka hanya mengikuti agama orang tua dan sebagian untuk mengisi indentitas diri itulah yang kerap kali terjadi.
Namun tidak dipungkiri juga bahwa banyak remaja Buddha yang taat dan patuh menjalan kan sila-sila yang diajarkan sang Buddha, dan banyak remaja Buddha yang menjadi muda-mudi diviharanya dan pergi kevihara dengan sepenuh hati tanpa paksaan orang lain dan menjadikan agama Buddha sebagai dasar dari segala tindakan mereka. Bagi yang tau akan agama Buddha mereka akan mengendalikan perbuatannya. Seperti yang tertera dalam (Dhammapada; bhikkhuvagga;361) sungguh baik mengendalikan perbuatan ; sungguh baik mengendalikan ucapan; sungguh baik mengendalikan pikiran dan sungguh baik mengendalikan semuanya(indra-indra)…
Remaja juga memandang agama Buddha sebagai tempat mereka berlatih menjadi lebih baik dan untuk mengejar jalan menuju nibbana. Walaupun seseorang masih muda dan kuat, namun bila ia malas dan tidak mau berjuang semasa harus berjuang serta berpikiran lamban; maka orang yang malas dan lamban seperti itu tidak akan menemukan jalan yang mengantarnya pada kebijaksanaan. semua yang tertera dalam kitab suci dapat dipelajari oleh para remaja dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Agama Buddha juga dipandang sebagai pelita dalam kegelapan yang dapat menuntun mereka menuju kecahaya terang. Dan mereka tidak akan melepaskan pelita itu agar mereka dapat menuju cahaya terang  tersebut.

2.      Pandangan remaja non-Buddha
Bagaimana remaja non-Buddha terhadap agama Buddha?
Banyak sekali yang salah memandang agama Buddha mereka hanya memandang dari luar tanpa mengenal lebih dekat. Mereka kadang juga mencemooh tentang agama Buddha dari segi apapun baik tradisi, cara sembayang maupun apa yang dipuja saat sembayang. Mereka hanya memandang agama mereka benar, dan memandang agama Buddha itu salah seperti memuja berhala, patung dan sebagainya tanpa mereka ketahui bahwa dalam agama Buddha tidak mengenal adanya Tuhan dan patung tersebut bukanlah Tuhan dalam agama Buddha, agama Buddha juga tidak memujanya, namun menghormati jasa-jasa beliau pada zaman dahulu. Memang banyak pandangan salah dari remaja non-Buddha, atau bahkan dari remaja Buddha itu sendiri hingga ia menghina agama Buddha. Dan dijelaskan dalam (Dhammapada;AtthiVagga;164) Karena pandangan yang salah orang bodoh menghina ajaran orang mulia, orang suci dan orang bijak. Ia akan menerima akibatnya yang buruk,seperti rumput kastha yang berbuah hanya untuk menghancurkan dirinya sendiri. Begitulah yang sedang dilakukan oleh mereka yang mengejek mencemooh ajaran sang Buddha.
Namun ada juga yang memandang agama Buddha dengan baik tanpa menghina dan mencemooh ajaran Buddha, mereka saling menghargai perbedaan agama dan mengganggap perbedaan adalah wajar. Itulah sikap yang harus ditiru oleh semua umat beragama di manapun berada.

kesimpulan
            Agama apapun yang dianut seharusnya menjadikan mereka bersatu, seperti symbol bhinekka tunggal ika yaitu walaupun berbeda-beda namun tetap satu. Agama Buddha merupakan agama yang sangat baik untuk diteladani. Walaupun perbedaan pandangan kerap kali terjadi dan hal itu adalah wajar, maka perbanyaklah dalam membaca kitab suci tripitaka, karena di sanalah tercantum semua yang ingin kita ketahui, karena tiada ajaran Buddha yang dirahasiakan jalankanlah praktek hidup yang benar dan jangan lalai.  Barang siapa yang hidup sesuai dengan Dhamma akan hidup berbahagia didunia ini maupun didunia berikutnya(Dhammapada;lokaVagga;169) walaupun dunia berubah namun ajaran dari sang Buddha  tetap kekal abadi, walaupun kita telah pergi ajaran dari yang mulia akan tetap bertahan.


SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATTA
Semoga semua mahkluk hidup berbahagia


POSISI AJARAN CINTA KASIH DALAM AGAMA BUDDHA

Oleh: PMd. Haris, S.Ag
A.    Pendahuluan

Masih banyak manusia pada kehidupan sekarang tidak menggunakan cinta kasih (mettā) sebagai dasar dalam pelaksanaan aturan kemoralan. Cinta kasih (mettā) dirumuskan sebagai keinginan akan membahagiakan semua makhluk tanpa kecuali (Wowor, 2005: 76). Pengembangan cinta kasih (mettā) ditujukan kepada diri sendiri, orang lain, atau bahkan untuk semua makhluk.
Pembunuhan banyak terjadi. Salah satu penyebab pembunuhan adalah adanya kebencian atau rasa tidak suka terhadap orang lain maupun makhluk lain, misalnya binatang. Sebagai contoh, jika seseorang digigit nyamuk maka rasa benci terhadap nyamuk tersebut akan muncul dan menyebabkan seseorang membunuhnya, sedangkan kebencian adalah lawan dari cinta kasih. Pembunuhan telah menjadi salah satu fenomena kehidupan modern; peperangan, konflik ras, peternakan binatang untuk sekadar melayani kebutuhan pasar manusia akan daging, dan penggunaan insektisida yang berbahaya (Sivaraksa, 2001: 88). Pembunuhan merupakan suatu contoh di mana tidak adanya cinta kasih antarsesama, baik kepada orang lain maupun makhluk lain termasuk binatang. Adanya pembunuhan berarti ada pihak yang dirugikan dan menimbulkan penderitaan bagi makhluk lain. Pembunuhan menunjukkan tidak adanya kepedulian (cinta kasih) kepada sesama.

B.  Cinta Kasih sebagai Landasan Keharmonisan
               Mettā adalah rasa persaudaraan, persahabatan, pengorbanan, yang mendorong kemauan baik, memandang makhluk lain sama dengan dirinya sendiri (Dhammasugiri, 2004: 21). Hal tersebut mencerminkan bahwa dengan melaksanakan cinta kasih maka akan dapat tercipta keharmonisan. Seseorang yang mengembangkan cinta kasih berarti mempraktikkan prinsip tanpa kekerasan. Kejahatan adalah sumber adanya ketidakharmonisan. Mettā adalah satu-satunya jawaban efektif bagi kekerasan dan penghancuran, baik dari senjata konvensional maupun peluru nuklir (Bogoda, 2003: 70). Seperti yang dialami Buddha sendiri ketika sedang bermeditasi kemudian diganggu oleh mara, dengan kekuatan cinta kasih panah dan lautan api tidak bisa melukai Buddha. Berdasarkan  Ańguttara Nikāya (Hare, 2001: 103) manfaat dari mengembangkan cinta kasih adalah tidak ada api, racun, maupun pedang yang dapat melukainya. Cinta kasih merupakan kekuatan dari dalam diri seseorang sebagai pencegah perbuatan buruk. Pengembangan cinta kasih bertujuan untuk memisahkan pikiran dari kebencian. Prinsip dari cinta kasih adalah tidak menyakiti, bebas dari rasa benci, dan permusuhan.
               Sesuai dengan macam-macam cinta yang dikemukakan oleh Davids (1915: 159-162) yaitu adanya cinta keluarga dan saudara. Keharmonisan hendaknya tercipta sejak dalam lingkup keluarga. Hubungan antar anggota keluarga seharusnya didasari oleh cinta kasih. Setelah mengembangkan cinta kasih kepada keluarga, maka cinta kasih dikembangkan kepada sahabat atau teman. Keharmonisan akan terwujud dalam hubungan sahabat.  Keharmonisan dapat terwujud dengan adanya cinta kasih karena cinta kasih dirumuskan sebagai keinginan akan kebahagian semua makhluk tanpa kecuali. Setelah mengetahui manfaat dari cinta kasih maka akan dapat diketahui bahwa cinta kasih dapat membawa keharmonisan di masyarakat. Pengembangan cinta kasih terdapat unsur menghormati dan kepedulian kepada yang lain. Adanya saling menghormati dan saling peduli akan tercipta keharmonisan. Cinta kasih atau mettā sering dikatakan sebagai keinginan suci yang mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk-makhluk lain, seperti seorang sahabat mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan temannya (Wowor, 2005: 76). Adanya keinginan atau niat seseorang untuk kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain maka akan menciptakan keharmonisan. Mettā menambah kemurahan hati pada sifat seseorang, memberikan keakraban, membebaskan diri dari kejengkelan dan selalu menimbulkan kegembiraan, keramah-tamahan serta tidak ada rasa permusuhan atau keinginan untuk menyakiti makhluk lain bahkan terhadap makhluk yang paling kecil sekalipun, yang biasanya disebabkan karena kebencian, kemarahan atau hanya karena iseng (Ñanasamvara, 2001: 15). Kebencian adalah lawan dari cinta kasih. Apabila dalam hubungan antara satu dengan yang lain tidak terdapat kebencian dan permusuhan maka dapat tercipta keharmonisan dan kedamaian dalam suatu masyarakat. Cinta kasih dapat menciptakan keharmonisan.
               Seseorang dalam menjalani kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, keharmonisan sangat diharapkan. Untuk menciptakan keharmonisan maka diperlukan saling mencintai, saling menghormati, saling menolong, dan saling menghindari percekcokkan. Ada beberapa cara agar terwujud keharmonisan, salah satunya yaitu dengan mengembangkan cinta kasih. Berdasarkan Sārāņīyadhamma Sutta, Ańguttara Nikāya (Hare, 2001: 203) Buddha mengatakan kepada para bhikkhu bahwa apabila seseorang memiliki perbuatan, ucapan, dan pikiran yang disertai cinta kasih terhadap sesama, baik di depan atau pun di belakangnya, akan tercipta pengembangan cinta kasih. Pengembangan cinta kasih melalui perbuatan di antaranya dengan cara ringan tangan membantu sesama. Pengembangan cinta kasih dilakukan dengan kelembutan dan kasih, sehingga yang ada hanya rasa kasih, bahagia dan damai, baik memberi atau menerima pertolongan. Pengembangan cinta kasih melalui ucapan, diantaranya menghindari bicara kasar, memfitnah, omong kosong, dan berbohong. Bertutur kata yang ramah, sopan santun maka akan tercipta keceriaan, tidak akan ada pertengkaran, keributan, dan permusuhan. Kitab Dhammapada, Khuddaka Nikāya (Norman, 2004:1) menyatakan ”For not by hatred are hatreds ever quenched here, but they are quenched by non-hatred. This is the ancient.” Pengembangan cinta kasih melalui pikiran diantaranya dengan melatih pikiran untuk selalu menyertai dan melandasi pikiran dengan cinta kasih, sehingga akan terpancar melalui wajah sinar kasih yang mengalir setiap saat. Pada akhirnya tidak akan ada curiga, salah sangka, ingin menyakiti dan rasa benci.
               Mettā merupakan sebuah kekuatan yang tidak hanya membawa kebahagiaan kepada dirinya sendiri tetapi juga untuk makhluk di sekitarnya (Janaka, 2003: 78). Untuk mempraktikkan cinta kasih, seseorang harus bebas dari sifat mementingkan diri sendiri. Siapa pun yang bertemu dengan orang yang memiliki kekuatan cinta kasih akan turut merasa bahagia, damai, dan tenteram. Cinta kasih merupakan kekuatan yang dihimpun dengan suatu pengharapan agar kebahagiaan dan kedamaian melingkupi seluruh kehidupan semua makhluk.
               Pengembangan cinta kasih ditujukan kepada semua makhluk, misalnya kepada binatang, dan makhluk yang tidak tampak. Keharmonisan yang ditimbulkan dari pengembangan cinta kasih tidak hanya kepada sesama manusia, tetapi keharmonisan manusia dengan binatang, dan keharmonisan manusia dengan makhluk halus atau makhluk tidak nampak. Contoh dari pengembangan cinta kasih antara manusia dengan binatang dan makhluk halus, yaitu tidak mengganggu antara makhluk yang satu dengan makhluk yang lain. Tidak mengganggu maka keharmonisan akan tercipta. Pengembangan cinta kasih tidak memandang makhluk apa pun, baik yang dikenal atau tidak, apakah makhluk tersebut tampak atau tidak, apakah makhluk tersebut adalah seorang musuh, atau seseorang yang sangat dicintai, atau bahkan makhluk tersebut adalah binatang. Kesemua jenis makhluk diberikan pancaran cinta kasih. Seperti yang terdapat dalam Mettā Sutta (Norman, 2001: 19) bahwa:
Whatever living creatures there are, moving or still without exception, whichever are long or large, or middle-sized or short, small or great, whichever are seen or unseen, whichever live far or near, whichever they already exist or are going to be, let all creatures be happy minded.

               Cinta kasih tidak hanya menciptakan keharmonisan dalam hubungan keluarga, sahabat, maupun masyarakat tetapi dapat menciptakan keharmonisan dunia, yaitu keharmonisan antara manusia dengan alam sekitar, baik dengan makhluk halus atau bahkan binatang. Tidak akan ada kebencian di dalamnya. Cinta kasih bukanlah persaudaraan yang berdasarkan politik, ras, bangsa, atau pun agama (Wowor, 2005: 77). Cinta kasih dikembangkan tidak memandang kepada siapa pun. Cinta kasih yang dipancarkan bukanlah perasaan cinta atas nafsu, tetapi cinta kasih dikembangkan seperti yang disebutkan dalam Mettā Sutta (Norman, 2001: 19) yaitu:
Just as a mother would protect with her life her own son, her only son, so one should cultivate an unbounded mind towards all beings, and loving-kindness towards all the world. One should cultivate an unbounded mind, above and below and across, without obstruction, without enmity, without rivalry.

               Perasaan cinta kasih yang dimiliki oleh seorang ibu bukan cinta yang didasarkan atas nafsu untuk memiliki, tetapi keinginan yang murni untuk menyejahterakan dan membahagiakan anaknya. Pengembangan cinta kasih yang dimiliki seorang ibu kepada anaknya yang tunggal adalah yang diharapkan dalam pengembangan cinta kasih kepada semua makhluk, yaitu pengembangan cinta kasih yang terwujud dalam keinginan sepenuh hati untuk menyejahterakan dan membahagiakan semua makhluk tanpa kecuali, dan cinta kasih dipancarkan ke segala penjuru, begitu pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, ke semua arah. Seperti yang dijelaskan dalam Vatthûpama Sutta, Majjhima Nikāya (Horner, 2000: 48) yaitu:
He dwells, having suffused the first quarter with a mind of friendliness, likewise the second, likewise the third, likewise the fourth; just so above, below, across; he dwells having suffused the whole world every way, with a mind of friendliness that is far-reaching, wide-spread, immeasurable, without enmity, without malevolence.

               Mettā adalah niat baik, cinta kasih, cinta universal; suatu perasaan persahabatan dan perhatian tulus terhadap semua makhluk hidup, manusia atau bukan manusia dalam segala situasi. Tanda utama mettā adalah niat baik: keinginan kuat untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain. Mettā menundukkan kebencian dalam segala bayangannya: kemarahan, niat buruk, keengganan, dan dendam. Tidak adanya kemarahan, niat buruk, dan dendam maka kerukunan dan keharmonisan dalam masyarakat akan tercipta.
               Berdasarkan Sārāņīyadhamma Sutta, Ańguttara Nikāya (Hare, 2001: 203) Buddha mengatakan kepada para bhikkhu bahwa apabila seseorang memiliki perbuatan, ucapan, dan pikiran yang disertai cinta kasih terhadap sesama, baik di depan atau pun di belakangnya. Hal tersebut yang membuat saling dikenang, dicintai, saling dihormati, dan menunjang untuk saling ditolong, untuk ketiada-cekcokan, kerukunan, dan kesatuan. Apabila seseorang memiliki cinta kasih tidak akan mungkin menyakiti orang lain, karena prinsip dari pengembangan cinta kasih adalah mengharapkan makhluk lain bahagia. Seseorang akan menolong, membantu, dan membuat orang lain bahagia. Menolong orang lain merupakan praktik cinta kasih, karena cinta kasih adalah sesuatu kekuatan aktif. Setiap tindakan mencintai yang dilakukan dengan pikiran tak bernoda untuk menolong, membantu, menyenangkan, membuat jalan orang lain mudah, lebih halus, dan lebih sesuai penaklukan kesedihan, adalah kebahagiaan tertinggi (Dhammananda, 2004: 242). Membahagiakan orang lain, maka seseorang akan merasa bahagia, karena orang yang melakukan perbuatan baik akan mendapatkan akibat yang baik, sedangkan orang yang melakukan kejahatan akan menuai hasil dari perbuatan jahat. Berdasarkan Kitab Dhammapada, Khuddaka Nikāya (Norman, 2004: 19) dijelaskan bahwa: ”Not in the sky, not in the middle of the sea, not entering an opening in the mountains is there that place on earth where standing one might be freed from evil action.” Seseorang akan mendapatkan akibat dari segala sesuatu yang telah dilakukan baik atau pun buruk. Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebaikan, pembuat kejahatan akan mendapatkan kejahatan. Seseorang tidak dapat mengingkari sebuah akibat dari perbuatannya.

C. Cinta Kasih sebagai Landasan Kemajuan Batin
Cinta kasih adalah sifat luhur yang pertama dari empat macam sifat luhur (brahma vihāra). Sifat luhur yang lain yaitu kasih sayang, rasa simpati, dan keseimbangan batin. Keempat sifat luhur itu sering disebut pula sebagai keadaan tak terbatas (apamaññā). Pelaksanaan brahma vihāra dapat membuat seseorang menjadi mulia atau suci dalam kehidupan sekarang. Pengembangan cinta kasih dapat membawa kehidupan suci bagi seseorang. Cinta kasih merupakan sifat luhur dalam Agama Buddha yang dapat menghaluskan hati seseorang, atau rasa persahabatan sejati (Wowor, 2005: 76). Cinta kasih dapat menghaluskan hati seseorang berarti dalam kehidupannya seseorang tidak mungkin melakukan perbuatan yang dapat menyakiti makhluk lain. Seseorang akan terbebas dari rasa benci dan permusuhan.
Cinta kasih sangat diperlukan sebagai dasar mengembangkan kesucian seseorang untuk menciptakan masyarakat yang damai, maju, dan sehat (Walshe, 1996: 246).  Prinsip dari cinta kasih adalah mengharapkan makhluk lain bahagia, bebas dari penderitaan, kebencian, maka tercapai pikiran yang bebas dari kebencian. Pikiran yang terbebas dari kebencian berarti akan dengan mudah dapat mengembangkan pikirannya, karena kebencian adalah salah satu akar kejahatan yang dapat membawa seseorang menuju penderitaan. Seseorang yang mengembangkan cinta kasih berarti melenyapkan akar kejahatan, maka kebahagiaan akan terwujud.
Cinta kasih merupakan salah satu objek meditasi. Seseorang dapat mengembangkan cinta kasih melalui meditasi cinta kasih. Seseorang melaksanakan meditasi cinta kasih harus mengembangkan cinta kasih kepada dirinya sendiri. Setelah seseorang mengembangkan cinta kasih kepada diri sendiri maka selanjutnya cinta kasih dikembangkan kepada orang-orang yang dihormati dan dihargai, orang-orang yang sangat dicintai, orang yang netral, dan kepada musuh (Ñānamoli, 1991: 290). Pada akhirnya cinta kasih dikembangkan kepada semua makhluk tanpa batas. Setelah batin seseorang terpusat kepada objek pengembangan cinta kasih maka batin akan menjadi tenang. Batin atau pikiran seseorang akan bebas dari kebencian. Terbebas dari kebencian berarti seseorang telah mengalami kemajuan batin. Aţţhakanāgara Sutta, Majjhima Nikāya (Horner, 2002: 16) menyebutkan bahwa:
... a monk dwell having suffused the first quarter with a mind of friendliness; likewise the second, likewise third, likewise the fourth; just s o above, below, across; he dwells having suffused the whole world everywhere, in every way, with a mind of friendliness that is for-reaching. He reflects on this and comprehends: ‘This freedom of mind that is friendliness, is also effected an thought out. But whatever is effected and thought out, that is impermanent, it is liable to stopping. Firm in this … the attains the matchless security from the bonds, not (yet) attained.

Kebebasan pikiran cinta kasih diakibatkan karena pertimbangan yang sangat kuat. Tetapi, kebebasan pikiran cinta kasih yang telah dicapai adalah tidak kekal. Kebebasan pikiran cinta kasih dapat mencapai pembebasan atau paling tidak mencapai tingkat kesucian Anāgāmi. Anāgāmi adalah tingkat kesucian di mana seseorang telah mematahkan lima belenggu batin, yaitu sakkāyadiţţhi (pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa yang kekal), vicikicchā (keragu-raguan terhadap Buddha dan ajaran-Nya), silabataparāmāsa (kepercayaan pada upacara atau ritual dapat membebaskan manusia dari penderitaan), kāmarāga (nafsu indera), dan paţigha (keinginan tidak baik) (Davids, 1992: 31). Seseorang mencapai tingkat kesucian Anāgāmi tidak akan terlahir kembali di alam manusia. Pengembangan cinta kasih akan membebaskan pikiran dari kebencian dan rasa permusuhan. Kebencian adalah salah satu akar kejahatan yang dapat membawa seseorang ke penderitaan. Apabila seseorang mengembangkan cinta kasih telah menjauhkan diri dari penderitaan, dan kebahagiaan akan tercapai. Kebahagiaan yang dicapai tidak hanya kebahagiaan pada kehidupan saat ini tetapi kebahagiaan di kehidupan yang akan datang. Seperti yang disebutkan dalam manfaat mengembangkan cinta kasih (Woodward, 2003: 219), meskipun seseorang belum mencapai Arahat tetapi dapat mencapai atau terlahir di alam Brahmā. Terlahir di alam Brahmā adalah suatu bukti bahwa kebahagiaan dari pengembangan cinta kasih tidak hanya terwujud pada kehidupan saat ini tetapi di kehidupan yang akan datang.     
              
D.  Kesimpulan
         Berdasarkan pembahasan mengenai “Posisi Ajaran Cinta Kasih dalam Agama Buddha”, dapat disimpulkan, bahwa: Cinta kasih merupakan keinginan akan kebahagiaan semua makhluk tanpa kecuali, yang sering dikatakan sebagai niat suci untuk mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk lain. Cinta kasih merupakan sebuah kekuatan yang tidak hanya membawa kebahagiaan kepada para pelakunya, tetapi juga untuk para makhluk di sekitarnya. Hal tersebut dapat terjadi karena pengembangan cinta kasih ditujukan kepada semua makhluk tanpa kecuali. Sedangkan objek pengembangan cinta kasih yaitu: pertama kali cinta kasih dipancarkan kepada diri sendiri, setelah itu cinta kasih dipancarkan kepada orang-orang yang dihargai dan dicintai, orang netral, dan musuh. Pengembangan cinta kasih pertama kali harus ditujukan kepada diri sendiri, karena untuk dapat mengembangkan cinta kasih kepada orang lain atau makhluk lain harus memiliki cinta kasih kepada diri sendiri terlebih dahulu.
         Ajaran cinta kasih memiliki posisi yang amat penting dalam agama Buddha. Cinta kasih apabila dikembangkan dengan baik, maka akan menciptakan keharmonisan di alam semesta, yaitu keharmonisan antara manusia dengan binatang, binatang dengan tumbuhan, tumbuhan dengan manusia, atau bahkan keharmonisan antara makhluk satu dengan makhluk yang lain, misalnya makhluk yang tidak tampak (setan, dewa). Hal tersebut dikarenakan cinta kasih dipancarkan tidak hanya kepada sesama manusia tetapi kepada semua makhluk yang ada di alam semesta. Semua penghuni alam semesta saling membutuhkan dalam menjalani kehidupannya, sehingga cinta kasih sangat diperlukan. Selain sebagai landasan keharmonisan, cinta kasih dapat berfungsi sebagai landasan kemajuan batin. Cinta kasih merupakan salah satu objek meditasi. Melalui meditasi seseorang dapat membebaskan kebencian dalam batin, sedangkan kebencian adalah salah satu akar dari kejahatan. Jika seseorang membebaskan kebencian dari batinnya, maka batinnya telah mengalami kemajuan. Dengan adanya kebebasan pikiran cinta kasih dapat membawa seseorang mencapai tingkat kesucian Anāgāmi dan merupakan latihan tahap awal yang dilaksanakan manusia untuk mencapai kebahagiaan tertinggi (nibbāna).           


                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                

SUMBER:    

Bogoda, Robert. Tanpa Tahun. Hidup Sederhana Hidup Bahagia. Terjemahan oleh Ida Dhammashanti. 2003. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.
Davids, T.W Rhys. (Ed). 1972. Pāli-English Dictionary. London: The Pali Text Society.
Davids, Rhys C.A.F. 1915. Encyclopedia of Religion and Ethics. Edinburg: T. & T. Clancle.
Davids, Rhys dan William Stede. 1992. The Pali Text Society Pāli-English Dictionary. Oxford: The Pali Text Society.
Dhammananda. Tanpa Tahun. Keyakinan Umat Buddha. Tejemahan oleh Ida Kurniati. 2004. Jakarta: Yayasan Penergit Karaniya.
Dhammasugiri. 2004. Konsep Cinta dalam Agama Buddha. Majalah Dhammacakka, hlm. 19-24.
Hare, E.M. (Ed). 2001. The Book of the Gradual Saying, vol III (Ańguttara Nikāya). Oxford: The Pali Text Society.
__________. 2001. The Book of the Gradual Saying, vol IV (Ańguttara Nikāya). Oxford: The Pali Text Society.
__________. 2001. The Book of The Discipline, vol. IV (Suttavibhańga). Oxford: The Pali Text Society.
Janaka. Tanpa Tahun. Mettā Bhavana. Terjemahan oleh Samuel B. Harsojo. 2003. Tanpa Kota Terbit: Tanpa Penerbit.
Norman, K.R. 2001. The Group of Discourses (Sutta-Nipāta). Oxford: The Pali Text Society.
__________. 2004. The Word of the Doctrine (Dhammapada). Oxford: The Pali Text Society.
Ñanasamvara. 2001. Sīla-Kemoralan. Dhammasakaccha, hlm. 20-36.
Ñānamoli. (Ed.). 1991. The Path of Purification (Visuddhimagga). Sri Lanka: Buddhist Publication Society.
Sivaraksa, Sulak. 1992. Benih Perdamaian. Terjemahan oleh Ken Ken dkk. 2001. Jakarta: HIKMAHBUDHI.
Walshe, M. O’C. 1996. Buddhism and Sex. Kandy: The Wheel Publication No. 225.
Woodward, F.L. (Ed.). 2003. The Book of Gradual Saying, vol. V (Ańguttara Nikāya). Oxford: The Pali Text Society.
Wowor, Cornelis. 2005. Pandangan Sosial Agama Buddha. Semarang: Vihara Tanah Putih.

Sabtu, 27 Desember 2014

Korban dalam Pandangan Buddhis



Korban dalam Pandangan Buddhis
Oleh: Haris, S.Ag

Pendahuluan
Kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun oleh seseorang dalam jangka waktu yang lama biasanya sangat sulit untuk dirubah sehingga dapat dikatakan sebagai tradisi. Dikatakan tradisi bila tindakan itu telah dilakukan secara terus menerus dan berlaku secara turun-temurun. Salah satu contoh seperti tradisi selamatan laut, sadranan di punden atau tempat keramat, grebeg dan lain sebagainya.
Tradisi seperti upacara selamatan dan sadranan pada dasarnya masih saja dilakukan oleh manusia di jaman modern, hal ini dapat dijumpai di salah satu desa-desa atau salah satu perkotaan dalam upacara tahunan kirab grebeg selamatan laut dan lain sebagainya. Untuk pelaksanaan selamatan, sadranan dan grebek biasanya dilakukan menggunakan beberapa sesajian yang beraneka ragam, seperti tumpeng, makanan jajan pasar yang bermacam-macam bahkan sampai makhluk hidup dijadikan sebagai syarat dalam pelaksanaan upacara tersebut.
Pelaksanaan selamatan menggunakan makhluk hidup sebagai salah satu sarat yang digunakan sarana ritual, seperti daging ayam yang disembelih sendiri, kambing yang memiliki ciri-ciri tertentu seperti kambing berkendit putih yang melingkar di perutnya untuk disembelih dan tidak jarang kepala sapi atau kerbau dijadikan syarat dalam ritual selamatan atau upacara pengorbanan, hal itu dapat dijumpai di salah satu upacara selamatan di berbagai pinggir pantai sebagai tolak bala dengan harapan selalu selamat dan banyak rejeki dalam mencari penghidupan di laut.

Bagaimanakah Pandangan Umat Buddha Terhadap Korban?
Dalam Kitab Suci Tipitaka (Digha Nikaya, Kutadanta Sutta, 94-96: 2009) dijelaskan oleh Buddha, yaitu: Ketika Sang Buddha sedang melakukan perjalanan melewati Magadha bersama lima ratus bhikkhu, dan beliau tiba di sebuah desa Brahmana bernama Khanumata sehingga Beliau menetap di taman Ambalatthika. Pada saat itu Brahmana Kutadanta bermaksud melakukan upacara pengorbanan dengan 700 ekor sapi, 700 ekor kerbau, 700 ekor anak sapi, 700 ekor kambing jantan dan 700 ekor domba yang semuanya diikat di tiang pengorbanan, jumlah keseluruhan 3.500 hewan korban.
Brahmana Kutadanta pada saat itu bertekad melakukan korban dengan tujuan agar negeri, kota keluarga dan kehidupannya selalu dalam selamat dan penuh dengan kebahagiaan. Namun pada kesempatan sebelum melakukan upacara pengorbanan yang besar tersebut, Brahmana Kutadanta mengunjungi sang Buddha dan meminta nasehat berkenaan dengan pelaksanaan korban yang akan dilakukannya. Pada saat itu sang Buddha menceritakan kehidupan raja Mahavijita. Sang Buddha menjelaskan bahwa pada saat raja Mahavijjita memerintah selalu melakukan pengorbanan dalam jumlah yang besar namun pengorbanan yang dilakukan oleh Mahavijjita dilakukan dengan damai dan tanpa setetes darah. Pengorbanan dilakukan melalui tiga cara dan enambelas aturan yaitu pengorbanan dilakukan dengan pelepasan makhluk hidup dengan tidak menyakitinya dan membagikan berbagai makanan dan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat yang dipimpinnya.
Saat itu Brahmana Kutadanta menanyakan kepada Sang Buddha  selain tiga cara dan enambelas aturan pengorbanan, adakah pengorbanan dengan cara lain yang lebih “TINGGI” daripada pengorbanan yang dilakukan melalui tiga cara dan enambelas aturan seperti di atas. Selanjutnya Sang Buddha menjelaskan dengan berkata kepada Brahmana Kutadanta: Ada Brahmana, mohon dengar dan perhatikan jenis pengorbanan apa, yang melebihi ketiga cara dan enambelas aturan itu, yaitu: (1). Bila seseorang berdana kepada arahat atau pertapa atau bhikkhu yang menjalankan moralitas dengan baik. Jika hal itu tidak dilakukan maka ada cara lain yang lebih tinggi, yaitu: (2) membangun vihara dan menyediakan tempat tinggal atau membukakan pintu bagi bhikkhu sangaha untuk bermalam atau bertempat tinggal. Jika hal itu tidak dilakukan maka ada cara lain yang lebih tinggi, yaitu: (3) bila seseorang itu berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha. Jika hal itu tidak dilakukan maka ada cara lain yang lebih tinggi, yaitu: (4) bila seseorang itu praktik atau menjalankan lima sila Pancasila Buddhis dalam kehidupannya. Jika hal itu tidak dilakukan maka ada cara lain yang lebih tinggi, yaitu: (5) bila seseorang itu praktik dan melatih meditasi hingga mencapai dalam Jhana-jhana
Demikianlah cara berkorban dalam aturan dan cara Buddhis yaitu bila yang pertama telah dilakukan maka ada yang lebih tinggi lagi bila telah melakukan yang ke dua, namun bila yang kedua tidak dilakukan selanjutnya seseorang melakukan cara yang ketiga maka itu pengorbanan yang tinggi. Demikian juga bila yang ke tiga tidak dilakukan maka melakukan yang keempat maka lebih tinggi lagi. Seterusnya bila cara yang keempat tidak dilakukan, namun melakukan cara yang kelima maka itulah yang akan membuahkan hasil dan kebahagiaan dalam jangka waktu yang lama dalam kehidupan ini dan kehidupan yang akan datang.

Mengapa Korban Terhadap Makhluk Hidup Tidak Dianjurkan dalam Agama Buddha?
Pada prinsipnya ajaran Buddha mengenal proses Hukum Kamma. Hukum Kamma berpatokan melalui hukum sebab dan akibat, yang mana hukum ini akan berjalan sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan seseorang. Hukum Kamma dapat dipahami siapa yang menanam maka dia pula yang akan memetik, sehingga hukum ini berjalan sebagaimana apa adanya yaitu tidak mengatasi waktu tempat dan keadaan. Hukum ini berlaku dimana-mana dan dapat diibaratkan tanam dan tuai, bila seseorang telah menanam biji yang pahit maka nantinya akan memetik buah yang pahit. Demikian juga bila seseorang telah menanam biji yang manis maka seseorang itu akan memetik buah yang manis, demikian hukum ini berjalan, (Samyutta Nikaya, 227)
Dalam Kitab Suci Tipitaka (Majjhima Nikaya 7 dalam Cullakammavibhangga Sutta, 2207-2210: 2008) telah dijelaskan oleh Sang Buddha, bila seseorang melakukan pembunuhan maka akibat yang akan diperoleh adalah umur pendek. Namun sebaliknya jika seseorang dalam hidupannya selalu menghargai kehidupan makhluk lain dengan tindakan penuh dengan cinta kasih dan kasih sayang, maka ia akan berumur panjang. Demikian juga bila seseorang melakukan penyiksaan terhadap makhluk hidup dengan tongkat, kayu, batu atau pisau maka bila ia terlahir lagi sebagai manusia maka ia akan dalam keadaan berpenyakitan. Sebaliknya bila dalam hidup seseorang selalu melakukan tindakan penuh dengan cinta kasih dan kasih sayang maka seseorang itu akan selalu dalam keadaan sehat demikian hukum ini dipahami.

Bagaimanakah Surga Diperoleh?
Umat Buddha tentunya tidak berpandangan bahwa dengan melakukan pengorbanan terhadap makhluk hidup akan mendapatkan surga? Sekali lagi pengorbanan yang benar dalam Pandangan Buddhis, bahwa pengorbanan dilakukan melalui lima cara, yaitu: (1) Bila seseorang berdana makanan kepada arahat atau pertapa atau bhikkhu yang menjalankan moralitas dengan baik, (2) membangun vihara dan menyediakan tempat tinggal atau membukakan pintu bagi bhikkhu sangha untuk bermalam atau bertempat tinggal, (3) bila seseorang itu berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha, (4) bila seseorang itu praktik atau menjalankan lima sila Pancasila Buddhis dalam kehidupannya, (5) bila seseorang itu praktik dan melatih meditasi hingga mencapai dalam Jhana-jhana. Dan bukan melalui pengorbanan yang dilakukan melalui jalan pembunuhan terhadap makhluk lain.
Dalam Kitab Suci Tipitaka (Dhammapada, 253: 2011) syair 224 yaitu: Hendaknya orang berbicara benar, hendaknya orang tidak marah, hendaknya orang memberi walaupun sedikit kepada mereka yang membutuhkan.
Dengan tiga cara ini orang dapat pergi ke alam surga. Jelaslah sesuai petikan Kitab Suci Dhammapada tersebut bahwa surga diperoleh bukan melalui pembunuhan terhadap makhluk lain, namun melalui berbicara benar, mengendalikan kemarahan dan kebiasaan melepas atau memberi kepada makhluk yang membutuhkan.
Pencapaian alam surga yang penuh dengan kebahagiaan dalam pandangan agama Buddha dapat dicapai oleh siapa pun, namun dengan syarat jika seseorang dalam kehidupannya selalu konsisten melaksanakan ucapan benar, tidak marah, dan suka memberi maka alam kebahagiaan surga akan diperolehnya. Suatu pandangan keliru dan sempit bila surga hanya dimiliki oleh salah satu keyakinan tertentu. Dalam pandangan agama Buddha surga milik siapa saja yang mau melakukan perbuatan baik. Hal itu telah diselidiki oleh siswa Sang Buddha Moggallana Thera dalam Kitab (Dhammapada Atthakattha, 351-352: 1997) yaitu: Pada saat Bhikkhu Moggallana Thera mengunjungi alam dewa yang mewah, beliau bertanya: “Melalui perbuatan baik apa telah kalian lakukan sehingga kalian terlahir di alam surga. Selanjutnya, para dewa memberikan jawaban yang berbeda-beda. Salah satu dewa menjawab, bahwa ia dapat terlahir di surga karena selalu berkata benar. Dewa berikutnya menjawab ia dapat terlahir di alam dewa karena tidak suka marah. Dan dewa terakhir memberi jawaban bahwa ia dapat terlahir sebagai dewa karena ia suka berdana”. Dari pernyataan para dewa yang yang telah terlahir di surga tersebut sangat jelas bahwa siapa saja yang dengan sungguh-sungguh mau melatih dan praktik perbuatan baik dapat terlahir di alam yang penuh kebahagiaan.

Kesimpulan
Dalam pandangan agama Buddha segala sesuatu tindakan melalui ucapan, perbuatan dan pikiran yang dapat merugikan diri sendiri dan makhluk lain maka tindakan itu bukan tindakan benar. Segala sesuatu bentuk pengorbanan jika merugikan diri sendiri dan makhluk lain hendaknya jangan dilakukan karena umat Buddha berpedoman pada hukum sebab dan akibat. Mengenai hukum sebab dan akibat, maka sebagai umat Buddha seseorang hendaknya dapat menciptakan perbuatan, ucapan dan pikiran yang baik agar dapat bahagia dalam kehidupan ini dan kehidupan yang akan datang.