PERBUATAN
MENENTUKAN KELAHIRAN
Oleh:
Haris, S.Ag
Anekajāti saṁsāraṁ Sandhāvissaṁ anibbisaṁ
Gahakārakaṁ gavesanto Dukkhā jāti punappunaṁ
Tumimbal lahir merupakan lingkaran penderitaan
yang tiada akhirnya. Berkelana tanpa menemukan pendiri “rumah” ini, kelahiran
yang berulang-ulang adalah penderitaan, (Dhammapada,
Jara Vagga: 153)
Pendahuluan
Dalam
ajaran Buddha, umat Buddha mengenal pokok-pokok ajaran Buddha, salah satu pokok
ajaran dalam Buddhisme adalah keyakinan pada Hukum Kamma dan Punnabhava yaitu
hukum perbuatan dan kelahiran kembali. Hukum ini saling berkaitan dalam
bekerjanya. Menurut Digha Nikaya Mahanidana Sutta (khotbah panjang
tentang asal mula) yang saling bergantungan, salah satu kelahiran
mengkondisikan usia tua dan kematian, jika tidak ada kelahiran maka tidak ada
kondisi bagi usia tua dan kematian, (Walshe, 2009: 191). Semua
makhluk yang hidup di dunia tidak lepas dari kelahiran dan kematian. Kematian tidak
berarti memasuki kehidupan abadi, tetapi sebaliknya, merupakan pintu gerbang
menuju tumimbal lahir baru yang akan diikuti oleh pertumbuhan, pelapukan, dan
kematian. Kematian dalam pandangan agama Buddha tidak dianggap sebagai akhir
dari kehidupan. Selama lobha (keserakahan), dosa (kebencian),
serta moha (kegelapan atau kebodohan batin) belum dilenyapkan, kematian
adalah awal dari kelahiran.
Pembahasan
Setelah
mengetahui bahwa kehidupan ini hanyalah siklus kelahiran, berlangsung dan
diakhiri dengan kematian, serta kelahiran kembali maka sebagai umat Buddha akan
timbul pertanyaan bagaimana seharusnya kita bertindak melalui perbuatan dalam
kehidupan sehari-hari?
Kalau kita melihat sekilas dalam
beberapa sutta tentang reverensi perbuatan yang menghasilkan buah kebahagiaan
atau sebaliknya beberapa perbuatan yang menghasilkan penderitaan maka kita
sebagai umat Buddha dapat mencontoh beberapa kutipan yang ada dalam Kitab Suci
agama Buddha. Di dalam Dhammapada Athakattha syair 16 tentang kisah upasaka Dhammika
yang berbudi
luhur dan sangat gemar memberikan dana. Selain sering memberikan dana makanan
serta kebutuhan lain kepada para bhikkhu secara tetap, juga sering berdana pada
waktu-waktu yang istimewa. Pada kenyataannya, ia merupakan pemimpin dari lima
ratus umat Buddha yang berbudi luhur dan tinggal di dekat Savatthi.
Dhammika mempunyai tujuh orang putra dan
tujuh orang putri. Sama seperti ayahnya, mereka semuanya berbudi dan tekun
berdana. Ketika Dhammika jatuh sakit, dan berbaring di tempat tidurnya ia
membuat permohonan kepada Sangha untuk datang kepadanya, untuk membacakan paritta-paritta
suci di samping pembaringannya.
Ketika para bhikkhu membacakan "Mahasatipatthana
Sutta", enam kereta berkuda yang penuh hiasan dari enam alam surga
datang mengundangnya pergi ke masing-masing alam. Dhammika berkata kepada
mereka untuk menunggu sebentar, takut kalau mengganggu pembacaan sutta.
Bhikkhu-bhikkhu itu berpikir bahwa mereka disuruh untuk berhenti, maka mereka
berhenti dan kemudian meninggalkan tempat itu.
Sesaat kemudian, Dhammika memberitahu
anak-anaknya tentang enam kereta kuda yang penuh hiasan sedang menunggunya. Ia
memutuskan untuk memilih kereta kuda dari surga Tusita dan menyuruh salah satu
dari anaknya memasukkan karangan bunga pada kereta kuda tersebut. Kemudian ia
meninggal dunia, dan terlahir kembali di surga Tusita.
Demikian juga Kisah Upasaka Anatapindika
yang semasa hidupnya selalu melakukan kebajikan menyokong Sang Buddha dan
anggota Sangha dengan penuh keiklasan, maka setelah meninggal beliau terlahir
di alam Surga Tusita (Samyutta
Nikaya I Devaputtasamyutta
[56]).
Tentunya kisah-kisah perbuatan baik yang
membuahkan dengan kebahagiaan tidak hanya sebatas dua kisah saja, namun masih
banyak kisah-kisah yang lainnya.
Namun sebaliknya perbuatan jahat akan
menjerumuskan ke alam penderitaan kepada pelakunya dapat kita lihat juga, ada beberapa
kisah yang terdapat di berbagai sutta akan bahas, diantaranya adalah kisah
Cunda si penjagal Babi, yang terdapat dalam Dhammapada Athakattha syair 15
yaitu: “Pada suatu dusun tidak jauh dari Vihara Veluvana, hidup seorang
penjagal babi yang sangat kejam dan keras hati, bernama Cunda. Ia adalah
penjagal babi yang sudah berusia lebih dari lima puluh tahun; selama hidupnya
dia belum pernah melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat. Sebelum dia
meninggal, dia sakit parah dan mengalami penderitaan yang berat. Dia
mendengkur, berteriak-teriak dan seperti babi selama tujuh hari. Sebelum
meninggal dunia, dia mengalami penderitaan seperti kalau dia berada di neraka (niraya).
Pada hari ketujuh, penjagal babi itu meninggal dunia, dan dilahirkan kembali di
Neraka Avici (Avici Niraya).
Beberapa bhikkhu yang dalam beberapa
hari berturut-turut mendengar teriakan-teriakan dan kegaduhan dari rumah Cunda
berpikir, pastilah Cunda sedang sibuk membunuhi lebih banyak babi. Mereka
berpendapat bahwa Cunda adalah seorang yang sangat kejam dan keji. Yang tidak
mempunyai cinta kasih dan belas kasihan sedikitpun.
Mendengar pergunjingan para bhikkhu
tadi, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, Cunda tidak sedang membunuhi
lebih banyak babi. Perbuatan jahatnya yang lampau telah berbuah. Karena rasa
sakit yang sangat akibat penyakit yang dideritanya, ia melakukan hal-hal yang
tidak normal. Sekarang ia telah meninggal dan terlahir di alam neraka. Oleh
karena itu, seseorang yang melakukan perbuatan jahat akan selalu menderita
akibat dari perbuatan jahat yang dilakukannya; dia menderita dalam dunia ini
sama seperti pada alam berikutnya".
Dalam Khudaka Nikaya Kotbah di luar
dinding disitu diceritakan bahwa semasa kehidupan 90 kalpa yang lalu dimasa
kehidupan Buddha Kassapa, leluhur Raja Bimbisara juga melakukan perbuatan buruk
dengan menghalangi seseorang untuk berdana pada Buddha, maka dengan perbuatan
buruknya tersebut maka leluhur Raja Bimbisara terlahir 90 kalpa di alam
menderita.
Bahkan dalam Digha Nikaya Raja Payasi yang
tidak mempercayai adanya kelahiran kembali dan tidak menyakini hasil dari
perbuatan baik maka Raja Payasi tidak pernah berdana atupun melayani dana
dengan tangannya sendiri maka akibat dari perbuatan buruknya maka ia terlahir
di alam Dewa yang penuh dengan kekosongan.
KESIMPULAN
Berdasarkan contoh-contoh di atas kita
sebagai umat Buddha yang meyakini tentang Hukum Kamma dan Kelahiran kembali
maka segala bentuk perbuatan yang baik ataupun yang buruk akan mengkondisikan
berbuah pada si pelakunya. Seperti khotbah Buddha dalam (Samyutta Nikaya 227).
“Sebagaimana benih yang ditabur maka demikian buah yang akan dipetik, pembuat
kebajikan akan memetik kebajikan dan pembuat keburukan akan memetik buah dari
perbuatan buruknya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar