Senin, 22 Juni 2020


PERBUATAN MENENTUKAN KELAHIRAN
Oleh: Haris, S.Ag

Anekajāti saṁsāraṁ Sandhāvissaṁ anibbisaṁ Gahakārakaṁ gavesanto Dukkhā jāti punappunaṁ
Tumimbal lahir merupakan lingkaran penderitaan yang tiada akhirnya. Berkelana tanpa menemukan pendiri “rumah” ini, kelahiran yang berulang-ulang adalah penderitaan, (Dhammapada, Jara Vagga: 153)

Pendahuluan

Dalam ajaran Buddha, umat Buddha mengenal pokok-pokok ajaran Buddha, salah satu pokok ajaran dalam Buddhisme adalah keyakinan pada Hukum Kamma dan Punnabhava yaitu hukum perbuatan dan kelahiran kembali. Hukum ini saling berkaitan dalam bekerjanya. Menurut Digha Nikaya Mahanidana Sutta (khotbah panjang tentang asal mula) yang saling bergantungan, salah satu kelahiran mengkondisikan usia tua dan kematian, jika tidak ada kelahiran maka tidak ada kondisi  bagi usia tua  dan kematian, (Walshe, 2009: 191). Semua makhluk yang hidup di dunia tidak lepas dari kelahiran dan kematian. Kematian tidak berarti memasuki kehidupan abadi, tetapi sebaliknya, merupakan pintu gerbang menuju tumimbal lahir baru yang akan diikuti oleh pertumbuhan, pelapukan, dan kematian. Kematian dalam pandangan agama Buddha tidak dianggap sebagai akhir dari kehidupan. Selama lobha (keserakahan), dosa (kebencian), serta moha (kegelapan atau kebodohan batin) belum dilenyapkan, kematian adalah awal dari kelahiran.

Pembahasan
            Setelah mengetahui bahwa kehidupan ini hanyalah siklus kelahiran, berlangsung dan diakhiri dengan kematian, serta kelahiran kembali maka sebagai umat Buddha akan timbul pertanyaan bagaimana seharusnya kita bertindak melalui perbuatan dalam kehidupan sehari-hari?
Kalau kita melihat sekilas dalam beberapa sutta tentang reverensi perbuatan yang menghasilkan buah kebahagiaan atau sebaliknya beberapa perbuatan yang menghasilkan penderitaan maka kita sebagai umat Buddha dapat mencontoh beberapa kutipan yang ada dalam Kitab Suci agama Buddha. Di dalam Dhammapada Athakattha syair 16 tentang kisah upasaka Dhammika yang berbudi luhur dan sangat gemar memberikan dana. Selain sering memberikan dana makanan serta kebutuhan lain kepada para bhikkhu secara tetap, juga sering berdana pada waktu-waktu yang istimewa. Pada kenyataannya, ia merupakan pemimpin dari lima ratus umat Buddha yang berbudi luhur dan tinggal di dekat Savatthi.
Dhammika mempunyai tujuh orang putra dan tujuh orang putri. Sama seperti ayahnya, mereka semuanya berbudi dan tekun berdana. Ketika Dhammika jatuh sakit, dan berbaring di tempat tidurnya ia membuat permohonan kepada Sangha untuk datang kepadanya, untuk membacakan paritta-paritta suci di samping pembaringannya.
Ketika para bhikkhu membacakan "Mahasatipatthana Sutta", enam kereta berkuda yang penuh hiasan dari enam alam surga datang mengundangnya pergi ke masing-masing alam. Dhammika berkata kepada mereka untuk menunggu sebentar, takut kalau mengganggu pembacaan sutta. Bhikkhu-bhikkhu itu berpikir bahwa mereka disuruh untuk berhenti, maka mereka berhenti dan kemudian meninggalkan tempat itu.
Sesaat kemudian, Dhammika memberitahu anak-anaknya tentang enam kereta kuda yang penuh hiasan sedang menunggunya. Ia memutuskan untuk memilih kereta kuda dari surga Tusita dan menyuruh salah satu dari anaknya memasukkan karangan bunga pada kereta kuda tersebut. Kemudian ia meninggal dunia, dan terlahir kembali di surga Tusita.
Demikian juga Kisah Upasaka Anatapindika yang semasa hidupnya selalu melakukan kebajikan menyokong Sang Buddha dan anggota Sangha dengan penuh keiklasan, maka setelah meninggal beliau terlahir di alam Surga Tusita (Samyutta Nikaya I Devaputtasamyutta [56]).
Tentunya kisah-kisah perbuatan baik yang membuahkan dengan kebahagiaan tidak hanya sebatas dua kisah saja, namun masih banyak kisah-kisah yang lainnya.
Namun sebaliknya perbuatan jahat akan menjerumuskan ke alam penderitaan kepada pelakunya dapat kita lihat juga, ada beberapa kisah yang terdapat di berbagai sutta akan bahas, diantaranya adalah kisah Cunda si penjagal Babi, yang terdapat dalam Dhammapada Athakattha syair 15 yaitu: “Pada suatu dusun tidak jauh dari Vihara Veluvana, hidup seorang penjagal babi yang sangat kejam dan keras hati, bernama Cunda. Ia adalah penjagal babi yang sudah berusia lebih dari lima puluh tahun; selama hidupnya dia belum pernah melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat. Sebelum dia meninggal, dia sakit parah dan mengalami penderitaan yang berat. Dia mendengkur, berteriak-teriak dan seperti babi selama tujuh hari. Sebelum meninggal dunia, dia mengalami penderitaan seperti kalau dia berada di neraka (niraya). Pada hari ketujuh, penjagal babi itu meninggal dunia, dan dilahirkan kembali di Neraka Avici (Avici Niraya).
Beberapa bhikkhu yang dalam beberapa hari berturut-turut mendengar teriakan-teriakan dan kegaduhan dari rumah Cunda berpikir, pastilah Cunda sedang sibuk membunuhi lebih banyak babi. Mereka berpendapat bahwa Cunda adalah seorang yang sangat kejam dan keji. Yang tidak mempunyai cinta kasih dan belas kasihan sedikitpun.
Mendengar pergunjingan para bhikkhu tadi, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, Cunda tidak sedang membunuhi lebih banyak babi. Perbuatan jahatnya yang lampau telah berbuah. Karena rasa sakit yang sangat akibat penyakit yang dideritanya, ia melakukan hal-hal yang tidak normal. Sekarang ia telah meninggal dan terlahir di alam neraka. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan perbuatan jahat akan selalu menderita akibat dari perbuatan jahat yang dilakukannya; dia menderita dalam dunia ini sama seperti pada alam berikutnya".
Dalam Khudaka Nikaya Kotbah di luar dinding disitu diceritakan bahwa semasa kehidupan 90 kalpa yang lalu dimasa kehidupan Buddha Kassapa, leluhur Raja Bimbisara juga melakukan perbuatan buruk dengan menghalangi seseorang untuk berdana pada Buddha, maka dengan perbuatan buruknya tersebut maka leluhur Raja Bimbisara terlahir 90 kalpa di alam menderita.
Bahkan dalam Digha Nikaya Raja Payasi yang tidak mempercayai adanya kelahiran kembali dan tidak menyakini hasil dari perbuatan baik maka Raja Payasi tidak pernah berdana atupun melayani dana dengan tangannya sendiri maka akibat dari perbuatan buruknya maka ia terlahir di alam Dewa yang penuh dengan kekosongan.

KESIMPULAN
Berdasarkan contoh-contoh di atas kita sebagai umat Buddha yang meyakini tentang Hukum Kamma dan Kelahiran kembali maka segala bentuk perbuatan yang baik ataupun yang buruk akan mengkondisikan berbuah pada si pelakunya. Seperti khotbah Buddha dalam (Samyutta Nikaya 227). “Sebagaimana benih yang ditabur maka demikian buah yang akan dipetik, pembuat kebajikan akan memetik kebajikan dan pembuat keburukan akan memetik buah dari perbuatan buruknya”.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar